Pendidikan
islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dimana
peranan para pedagang dan mubaligh sangat besar andilnya dalam proses
islamisasi di Indonesia. Salah satu jalur proses Islamisasi itu adalah
pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika
perkembangan kaum muslimin. Dalam suatu komunitas muslim, maka terdapat tingkat
aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Mengetahui
sejarah dari pendidikan Islam itu sendiri adalah sangat penting terutama di
Indonesia, termasuk bagi para praktisi pendidikan. Dengan mempelajari sejarah
masa lampau, umat Islam dapat memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran
pendidikan Islam dari masa ke masa. Terutama interaksi yang terjadi dalam
masyarakat, antara individu maupun antara golongan, akan menimbulkan suatu
dinamika kehidupan kedinamikaan dan perubahan kehidupan akan bermuara pada
terjadinya mobilitas sosial. Sehingga dapat dilakukan penyelidikan tentang
struktur dan dinamika masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan dan
hambatan yang dialami Pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam makalah
ini akan dibahas tentang beberapa problematika internal yang dihadapi
Pendidikan Islam yang mana pada akhirnya diharapkan dapat membantu para ahli
pendidikan untuk menemukan solusi yang tepat.
- Rumusan Masalah
Apa saja problematika internal yang
dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia?
- Tujuan Pembahasan
Mengetahui berbagai problematika
internal yang dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
- Tantangan dan Konflik Internal Pendidikan Islam di Indonesia
- Menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM)
Tantangan pendidikan Agama Islam
terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yaitu jika kualitas
pendidikan menurun maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah
pula dalam hal keimanan dan ketakwaan, terdapatnya kesenjangan antara kualitas
pendidikan dengan kenyataan empiris perkembangan masyarakat, serta pendidikan
Islam tertinggal dalam hal metodologis.
Tantangan secara internal bahwa
dalam lembaga pendidikan Islam itu berjalan semakin jauh menyimpang dari
cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat-sifat yang nasional dan demokratis.
Salah satu permasalahan Pendidikan
Islam yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada
setiap jenjang dan satuan pendidikan.1
Banyak faktor yang ikut serta menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM),
diantara strategi yang paling efektif dalam menentukan kualitas tersebut adalah
melalui pendidikan. Maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa sangat
ditentukan bagaimana pendidikan yang ditempuh masyarakat atau bangsa itu
sendiri. Jadi maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa tergantung pada
sebagian besar pendidikan yang berlaku dikalangan mereka.
Pendidikan Islam menjadi satu dalam
sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran
tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk
kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang
eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun”
dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya
beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok
tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada
lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau
mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat
banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang
salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan
terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian
disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan,
ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian
besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam.
Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung
selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan,
perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”,
dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara
berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah
menunjukkan kemajuan (Soeroyo, 1991: 77). Tetapi
pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi
marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
- Rendahnya Motivasi untuk maju dan berkembang lebih baik
Tantangan yang dihadapi
pendidikan Islam yang kompleks dan berat, dikarenakan dunia pendidikan Islam
juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi
globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun
langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan
diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif.
Kondisi ini menuntut
lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan
pendidikannya, karena A.Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan
pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor
penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght],
kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi.
Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam
harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan
perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan
taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model
pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan
efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan
perannya (M.Arifin, 1991:3). A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi
pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan
perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang
berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan
untuk membangun peradaban (A. Syafii Maarif, 1996: 5).
Mutu Pendidikan
Islam di Indonesia Sekarang
Untuk
mengetahui mutu pendidikan Islam bukanlah hal yang sederhana, sebab banyak
aspek yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut. Berbagai sarana dan
prasarana pendidikan hendaknya berorientasi pada peserta didik, bukan
sebaliknya yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Setidak-tidaknya ada
tiga indicator utama yang dapat menentukan tinggi rendahnya kualitas
pendidikan, yaitu dana pendidikan, kelulusan pendidikan dan prestasi yang
dicapai dalam membaca komprehensif.2 Sehingga dapat diuraikan sebagai berikut
- Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin dicapai tanpa dana yang cukup. Pendidikan yang berkualitas cenderung membutuhkan dukungan dana yang lebih besar daripada pendidikan yang berkualitas rendah, karena dana yang minim cenderung dapat menyebabkan anak mengalami drop out dan mengulang kelas yang tinggi, kecuali secara kasualistik bagi sejumlah kecil lembaga pendidikan Islam.
- Pendidikan yang berkualitas cenderung dapat menghasilkan angka-angka kelulusan yang cukup tinggi. Tentu saja criteria ini adalah angka yang sudah distandarkan.
- Kemampuan membaca komprehensif di negara berkembang seperti di Indonesia cenderung lebih rendah daripada di negara maju. Hal ini disebabkan kebiasaan menghafal dalam belajar siswa.
Kecenderungan Pendidikan Islam sekarang yang menitikberatkan
pada pemberian bekal pengetahuan kepada anak didik dan sedikit dalam
pembentukan values atau nilai-nilai dan karakter tentunya akan
berpengaruh pada sikap anak didik. Semangat juang dan daya saing mereka menurun
karena selama ini pendidikan Islam dalam hal pembentukan nilai-nilai dan
karakter itu sangat minim.
- Kelemahan-kelemahan Pendidikan Islam yang tidak segera diatasi
Masalah internal yang dihadapi
pendidikan Islam salah satunya adalah adanya kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam tubuh pendidikan Islam itu sendiri. Menurut Mochtar Buchori
(1992) menilai kegagalan pendidikan agama di sekolah-sekolah karena praktek
pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran
nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan
konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran
agama. Buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum
yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan
afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Akibatnya
terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan. Atau
dapat dikatakan dalam praktiknya pendidikan agama berubah menjadi pengajaran
agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islam.3
Kelemahan [weakness], bahwa
pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan
komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model
sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada sistem yang mantap
dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Muchtar Buchori juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama Islam yang
berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi
dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang
efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks.
Pendidikan agama tidak boleh tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri,
tetapi harus berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan
nonagama kalau ingin mempunnyai relevansi terhadap perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat.4
Towaf (1996) mengemukakan kelemahan-kelemahan Pendidikan agama
Islam di sekolah, antara lain sebagai berikut :
- Pendekatan masih cenderung normatif, dalam artian pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
- Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi GPAI seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
- GPAI kurang berupaya untuk menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agam Islam sehingga pelaksanaan pembelajaran terkesan monoton.
- Terbatasnya daya tampung dalam lembaga Pendidikan Islam
Daya tampung yang terbatas pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam juga menjadi suatu problematika tersendiri
selain juga tidak terpenuhinya cita-cita bangsa untuk memeratakan pendidikan
bagi seluruh masyarakat. Masih ada daerah-daerah yang kekurangan sarana belajar
sehingga menjadi kendala bagi peserta didik untuk belajar. Misalnya, di
tingkat perguruan tinggi daya tamping di universitass negeri juga terbatas.
Dipandang dari sudut-sudut penyebaran guru juga tidak merata, baik ditinjau
dari segi kuantitas dan kualitas yang terpusat dikota-kota. Banyak desa-desa
terpencil sangat kekurangan guru terutama guru Pendidikan Agama Islam sehingga
berpengaruh pada perkembangan sosial dalam masyarakat tersebut.
Salah satu
komponen pokok terpenting dari pendidikan adalah guru. Dan juga salah satu
permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam sekarang adalah masalah guru. Guru
dalam lembaga pendidikan Islam masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas.
- Belum mampu untuk bersaing dengan lembaga pendidikan lain
Perlakuan pemerintah dan masyarakat
terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang
menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan. Terpinggirnya
pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi
manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan
pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini
tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah
pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara
modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat
rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar
mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama
menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan
motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena system pendidikan Islam kurang
kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya
tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk
mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya
merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan
profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit
ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya
sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan
para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua,
dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis
daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar
pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike (Mahfudh
Djunaidi, 2005), dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Dalam menghadapi
perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar
internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara
tuntas, yaitu :
Pertama, harus mengikis habis
wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa
al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan
mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam harus
dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan
agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu
kerangka filosofis yang jelas dan baku. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa
pendidikan Islam harus dijauhkan dari buaian hellenisme yang diberi
jubah Islam dan kita harus berada pada sumbu Islam, al-Qur’an, Hadis dan karir
yang pernah diraih nabi Muhammad Saw. Maka kita tidak perlu berteriak, mari
kita Islamkan ilmu modern”, yang hanya akan mengulangi hal serupa, yaitu
pendidikan Barat yang dijustifikasikan dengan ayat-ayat Qur’an. Berkaitan
dengan hal tersebut, yang pertama kali harus dimiliki adalah kemandirian dalam
segala aspek. Dengan kemandirian tersebut, akan melindungi proses pengembangan
pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan memperkosa proses
pengembangan pendidikan Islam untuk tetap bersiteguh berdiri pada konsep yang
murni dari al-Qur’an dan al-Hadis untuk memberdayakan bangsa yang mayoritas
muslim ini, (Ahmad Syafii Maarif, 1997: 67).
Memang diakui, bahwa
untuk mengikis habis persoalan dikotomik bukan hal yang mudah, karena akan
berhadapan dengan kontroversi pemikiran antar pemikiran kovensional
(tradisional) dengan pemikiran kontemporer modern. Tetapi pada sisi lain,
diakui bahwa secara malu-malu pendidikan Islam telah melakukan perubahan dengan
mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Misalnya saja,
kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama dengan memperkecil
perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya
direspons pendidikan Islam secara malu-malu, istilah Azyumardi “malu-malu
kucing” dan istilah Karel Steembrink, “menolak sambil mengikuti”.
Artinya, pada akhirnya pendidikan Islam juga melakukan proses adaptasi dengan
mengembangkan sistem mengikuti pendidikan umum. Maka kita harus mengikis habis
wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa
al-Qur’an. Azyumardi, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan
Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan perubahan zaman.
Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman,
kemoderenan, keknian, masa depan dan kemanusian agar compatible dengan
perkembangan zaman.5
Kedua, perlu pemikiran
kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Artinya
lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan
kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja. Hal
itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual
masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral”.6 Memang
diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam
dan terampil dalam melaksanakannya [psikomotorik], tetapi kurang menghayati
[afektif] kedalaman maknanya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam
harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari
ilmu-ilmu agama [spritual ilahiyah], ilmu pengetahuan, teknologi,
keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah.
Tantangan dan
kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan ada pula
yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu kekuatan
pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi mental yang
di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi terwujudnya
kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai banyak segi,
seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal antara lain
kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi mental lain
yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya nalar atau
rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara berpikir yang
kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan umat
manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali mencapai kesatuan
pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat bagi kebangkitan
moral-spiritual yang kuat. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dan bahkan
bermanfaat untuk memperoleh pandangan yang luas tentang satu persoalan. Akan
tetapi perbedaan pendapat harus diimbangi dengan kemampuan mencapai keputusan
yang menguntungkan semua pihak (Win-Win Solution). Dengan begitu akan lebih terjamin
kekompakan dan kemantapan perjuangan. .
Dalam pada itu
kebangkitan material menghadapi kendala berupa tingkat penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang umumnya masih rendah. Hal ini sangat
berbeda dengan masa lampau ketika justru umat Islam memegang peran penting
dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama kemampuan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kurang memadai, umat Islam tidak
dapat membangun kemampuan ekonomi yang dapat menciptakan aneka ragam produksi
dan jasa. Akibatnya tidak saja pada terbatasnya produktivitas, akumulasi modal
dan rendahnya penghasilan, tetapi juga berpengaruh terhadap kemajuan berkreasi
dalam segala aspek kebudayaan. Juga kemampuan berpolitik akan kurang
berkembang. Kemampuan membela dan mengamankan diri juga menjadi terbatas kalau
penghasilan dan produksi rendah. Alhasil, seluruh kesejahteraan tidak berada
pada tingkat yang tinggi. Agar supaya Kebangkitan Islam membawa masa depan yang
lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai perubahan yang
menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat Islam. Oleh sebab
itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang penuh vitalitas atau
daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perubahan ke arah
kemajuan.
Selain
persoalan tersebut, pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan
globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang
adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi,
misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan,
manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia
yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global
yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia
modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan
proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi.
- Perubahan Yang Perlu dilakukan Pendidikan Islam
Perubahan
yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu:
[1] Membangun sistem
pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas
agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia
global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah,
kemanusia [insaniyah], dan masyarakat, serta budaya.
[2]Menata manajemen
pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu
menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah
[otonomi daerah] dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang
berkualitas.
[3]Meningkatkan
demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi
masyarakat.
Pendidikan Islam harus mulai
berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat
menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan
tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab
tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri,
sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau
"lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada
mengajar [teaching]".
b. Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu
struktur yang lebih bersifat fleksibel".
c. Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri",
d. Pendidikan Islam, "merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" 7
Keempat ciri ini, dapat disebut
dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan
bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat". Dalam
"pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan
kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena
keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh
apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga
ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada
umumnya" .8Dengan
kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan
pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat,
dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga
"sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat
yang senantiasa berubah dengan cepat" .9
Pendidikan Islam harus berorientasi
kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas,
keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan "keluhuran
moral" dan "kepribadian", sehingga pendidikan Islam akan mampu
mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan
paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang
belajar terus [long life education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif,
mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan10
, serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru
pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan,
pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran,
inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural,
dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan
dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan
masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.
Di samping hal di atas, secara umum,
ada beberapa hal yang mesti diperhatikan setiap pengelola pendidikan Islam
untuk meningkatkan kualitasnya. Pertama,
profesionalisme. Setiap lembaga pendidikan Islam tidak boleh lagi dikelola
sekadarnya. Karena itu, semuanya harus berbenah secara serius menuju area
profesionalisme. Tidak
ada lagi orang yang hanya bermodal “hebat dan berniat baik” latah dan
asal-asalan mendirikan lembaga pendidikan Islam. Segalanya mesti dipikirkan dan
dikelola secara profesional. Pendidikan Islam sangat butuh orang-orang yang
dapat menahan diri untuk tidak membawa masalah luar ke dalam organisasi. Jangan
lagi ada orang yang hanya menjadikan lembaga sebagai kendaraan ambisi
pribadinya, mendapatkan kedudukan, kekayaan atau mendongkrak prestise. Tentu saja,
semua tenaga profesional itu diberi imbalan yang sesuai. Tidak boleh lagi ada
yang hanya “digaji” sekadar untuk ongkos jalan.
Kedua, kemandirian.
Ketergantungan yang besar terhadap pihak tertentu, terutama masalah finansial,
membuat pendidikan Islam sulit berkembang. Apalagi jika harapan satu-satunya sumber finasial itu adalah
siswa atau orang tua. Pengelola harus lebih kreatif dan gigih menyongsong
kemandirian finansial. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggali lebih serius
potensi internal lembaga atau membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Saat ini,
sangat banyak lembaga pendidikan lain yang eksis “hanya” karena bisa
bekerjasama dengan orang atau lembaga donor, nasional dan internasinal, tanpa
mengorbankan jatidiri mereka. Jangan alergi dulu dengan lembaga internasional,
apalagi kalau alasan ini hanya untuk menutupi ketidakmampuan pengelolanya.
Ketiga, menggairahkan studi ke-Islaman.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sepinya peminat pendidikan Islam karena adanya
anggapan, yang banyak benarnya, bahwa pendidikan Islam hanya berorientasi
akhirat. Mereka memburu pendidikan umum karena butuh ilmu untuk sukses dalam
kehidupan di dunia, atau dunia akhirat. Para pelajar dan orang tua lebih
berminat memasuki program studi umum karena dianggap lebih menjamin masa depan.
Trend ini harus dihadapi dengan menggairahkan studi Islam. Materi pembelajaran
tidak boleh lagi dibiarkan terus-menerus menjauh dari realitas dunia, tapi
harus ada upaya “pembumian”. Orang yang mendalami ilmu-ilmu Islam tidak boleh
lagi merasa di awang-awang, tapi menginjak bumi karena hasil studinya akan
dapat dinikmati dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan paradigma baru tersebut,
pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia
yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju
masyarakat madani Indonesia. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan
acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang
demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan
Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi,
kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan
kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah penggeseran
paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi. Meskipun saat sekarang
ini "konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare
state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless)
karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap
relevan dan bahkan harus dilakukan pengembangan pendidikan perlu diletakan
untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut,
apabila tidak, maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang
"termarginalkan" dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan masyarakat
global.
Pergeseran drastis paradigma
pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan
yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet
yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan
waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan
upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek kehidupan bangsa dan
negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu,
pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi
logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan
masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi
manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani
Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari "percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari "percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan.
C.Analisis SWOT
Pendidikan Islam Terkait dengan Masalah-masalah Internal
Pendidikan Islam (bukan
kelembagaan), jika kita evaluasi dengan SWOT (salah satu alat evaluasi dalam
manajemen) maka kita melihat dari :
Strength : Situasi kondisi kekuatan dari pendidikan Islam bahwa Islam
sebagai milah/ agama yang mempunyai nilai kebenaran universal maka kita dapat
melihat dari sisi kekuatannya :
1. mempunyai ajaran-ajaran/nilai kebenaran univarsal yang
dapat diterapkan dalam segala bidang
2. mempunyai prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri)
3. mempunyai prinsip keadilan (al-‘adalah), keseimbangan (
al-Tawazun )dll
4. mempunyai prinsip ajaran berproses dan ilmiah ( kun fa
yakun )
5. mempunyai ajaran monoteis (yang tidak terikat oleh ruang
dan waktu)
6. mengedepankan pembentukan karakter / akhlak al-karimah /
moral /etik
7. mementingkan pendidikan keluarga dan lingkungan
8. ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman
9. mempunyai spirit dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan
Weakness adalah situasi kondisi kelemahan pendidikan Islam antara
lain : belum mempunyai manajemen pendidikan secara sistematis belum seimbangnya
rasio SDM (steakholder,guru) yang professional paradigma pemisahan antara
pendidikan Islam dan umum masih kurangnya pengembangan kurikulum pendidikan
Islam belum adanya sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa
kurangnya hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam kurangnya
inovasi-inovasi metode pengajaran dalam pendidikan Islam masih kurangnya
lembaga-lembaga pelatihan guru pendidikan Islam.
Opportunity adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar
Pendidikan islam dan memberikan peluang berkembang bagi pendidikan Islam di
masa depan antara lain : Tujuan Pendidikan Nasional dan undang-undang serta
permen tentang Sisdiknas, Pemisahan antara pendidikan umum/ barat dan
pendidikan Islam Era globalisasi yang berindikasi bebasnya nilai-nilai
Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia akan religitas.
Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi pendidikan Islam
yang datang dari luar dan dapat mengancam eksistensi pendidikan Islam di masa
depan
1. ajaran dan budaya selain Islam
1. ajaran dan budaya selain Islam
2. sekularisasi
3. pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam
4. pemahaman rasionalis dan pragmatisme
KESIMPULAN
Tantangan
dan kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan
ada pula yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu
kekuatan pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi
mental yang di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi
terwujudnya kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai
banyak segi, seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal
antara lain kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi
mental lain yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya
nalar atau rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara
berpikir yang kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan
perkembangan umat manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali
mencapai kesatuan pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat
bagi kebangkitan moral-spiritual yang kuat.
Agar supaya Kebangkitan Islam membawa
masa depan yang lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai
perubahan yang menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat
Islam. Oleh sebab itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang
penuh vitalitas atau daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan
perubahan ke arah kemajuan.
Tantangan internal yang menyangkut
pendidikan agama Islam sebagai program pendidikan, baik dari segi orientasi
pendidikan agama yang kurang tepat, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran
agama Islam, perancangan dan penyusunan materi yang kurang tepat, maupun
metodologi dan evaluasinya, serta pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan
agama Islam itu sendiri yang sebagiannya masih bersifat eksklusif dan belum
mampu berinteraksi dan bersinkronisasi dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azyumardi, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, http:// islamlib.
com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003
Daulay,
Haidar Putra.Dr.H. Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia. Jakarta: Kencana.2006.
DEPAG.
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta.2005
Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta:
Fajar Dunia.
Faisal Ismail, Paradigma
Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi
Press,1998) .
Muhaimin,
Drs. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.2001
Suroyo, 1991, Perbagai
Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal
Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan
Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.
www.journal.uii.ac.id
www.konsultanpendidikanislam.blogspot.com
www.sayidiman.suryohadiprojo.com
Zamroni, Paradigma
Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta. 2000
10 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis
dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998) . hal. 97-98
Reaksi:
|
FBS
Indonesia - FBS ASIAN adalah salah satu Group Broker Forex Trading FBS Markets
Inc
yang ada di ASIA dimana kami adalah online support partner fbs perwakilan yang sah dipercayakan oleh perusahaan FBS untuk melayani semua klien fbs
di asia serta fbs yang ada di indonesia.
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di http://fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
yang ada di ASIA dimana kami adalah online support partner fbs perwakilan yang sah dipercayakan oleh perusahaan FBS untuk melayani semua klien fbs
di asia serta fbs yang ada di indonesia.
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di http://fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
"Manusia adalah apa yang dia
pikirkan"
My
CALENDER
ACTIVITY

My
Friends?
Arsip
Blog
About
Me
Rieris Lutfi N.L, usually called Rieris. or up to You... A
student in State Islamic University Of Malang. Daily activty yoiku berjuang
bareng laskar jihad yang lain `tuk capai kebebasan yang berbatas.
wesss....pokoknya hidup buat yang nyenengin hati sendiri `n orang lain.
Ada kesalahan di dalam gadget ini
w.rangkumanmakalah.com I Dalam problematika pendidikan PAI.
Tidak ada gading yang tidak retak. Menurut penulis pribahasa ini cukup
bisa mewakili pendidikan agama Islam di Indonesia sekarang ini. [baca: perkembangan demokrasi di indonesia] Tidak sedikit dijumpai buku-buku dan tulisan-tulisan yang
menunjukkan kegemilangan pendidikan agama Islam, pendidikan agama Islam
dianggap sudah bisa menghantarkan siswa menjadi pribadi yang mengusai bagaimana
cara berinteraksi yang baik dan benar, baik secara vertikal maupun horisontal.
Di sisi lain, masih banyak dijumpai kekurangan serta problematika pendidikan
agama Islam yang perlu mendapat perhatian khusus
Problematika selalu menuntut untuk bisa diselesaikan. Begitu
juga dengan problematika pendidikan agama Islam. Dalam studi problematika PAI,
tidak hanya dikaji tentang masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga
berusaha menemukan solusi dan jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang
berkenaan dengan proses pembelajaran, tidak lepas dari tiga sebab yang
mendasar. Pertama, selama ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak
berorientasi pada aspek kognitif saja. Padahal pendidikan agama seharusnya
lebih berorientasi secara praktisi, maka tidak heran ketika banyak dijumpai
anak yang menadapat niai bagus dalam mata pelajaran agama akan tetapi dalam
penerapan dan prilaku keseharian cenderung menyimpang dari norma ajaran yang
islami, sebagaiman a disebutkan oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem
pendidikan agama yang berkembang di sekolah kurang sistematis dan kurang
terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang dilakukan untuk pendidikan
agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, yaitu hanya aspek
kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak hanya dalam hal
kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya ajaran agama
yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku sehari-hari.[1]
Problematika PAI tidak hanya tumbuh subur di Indonesia. Di
Filipina permasalahan ini sudah banyak diperbincangakan sejak 1980, dan ditahun
yang sama diadakan sebuah konferensi untuk membahas problematika ini. berikut
ini adalah problematika yang ditemukan: 1. Curriculum 2. Inadequate
resources 3. Lack of competent teachers 4. Lack of competent
administrators 5. Lack of adequate teaching materials
(no relevant textbooks and referen-ces) 6. Lack
of school facilities such as buildings, etc. 7. Peace and order as an
extraneous factor affecting the normal operation of madrasah.[2]
Enam permasalahan yang muncul di Filipina hampir ada kesamaan
dengan yang terjadi di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan proses
pembelajaran. Bedanya, di Filipina hal tersebut sudah menjadi perhatian khusus
bahkan sejak tahun 1980, akan tetapi di Indonesia belum ada konferensi yang
memperbincangkan problematika PAI. Ruang
Lingkup Studi Problematika PAI
Dalam mengkaji problematika PAI yang berkembang baik di
lembaga pendidikan Islam maupun d lembaga yang tidak ber latar belakang Islam
selalu menjadi hal yang menarik. Karena masalah yang muncul dalam PAI seakan
tidak pernah ada habisnya.
Secara garis besar problematika yang dihadapi oleh pendidikan agama Islam bisa digolongkan menjadi dua.
Pertama, permasalahan yang bersumber dari internal.
Maksudnya adalah
permasalahan yang muncul dari materi pendidikan agama Islam itu sendiri, karena
materi dalam pendidikan agama Islam mayoritas berupa sesuatu yang abstrak.
Kedua, permasalahan yang bersumber dari ekternal. Eksternal disini mencakup
lingkungan, guru, keadaan ekonomi siswa, politik dan orang tua.[3]
Problematika yang muncul dari internal siswa cenderung lebih
mudah untuk ditangani. Karena guru bisa memilah dan memilih materi apa yang
tepat diajarkan kepada peserta didik di level belajar tertentu. Kurikulum juga
termasuk dalam problematika yang bersumber dari internal, kurikulum dianggap
sebagai pedoman dalam setiap proses belajar mengajar.
Kuriulum PAI yang digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak
terlalu luas, lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang
tidak terlalu komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung
menjelaskan persoalan-persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan
amalan-amalan ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya diaplikasikan dalam
kehidupan nyata sehari-hari.[4]
Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama islam sabagai
sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi
yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama islam) hendaknya
mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga
harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik
tidak sempit.
Disamping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan
anak didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati
mengenai definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman
pembelajaran, kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di
sekolah bagi anak didik dan tujuan didik di dalam dan di luar sekolah
dengan maksud menolongnya untuk perkembangan menyeluruh dalam segala segi dan
merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pembelajaran.[5]
Namun merealisasikan kurikulum yang ada disuatu lembaga pendidikan bukanlah
suatu hal yang mudah, sedangkan alokasi waktu untuk pembelajaran pendidikan
agama islam sangat sedikit. Dengan demikian dapat menjadi problem dalam
pembelajaran pandidikan agama islam.
Permasalahan yang bersumber dari eksternal cenderung lebih
kompleks dan menuntut banyak kerja keras untuk bisa menyelesaikanya.
Diantara faktor ekternal dalam problematika pendidikan PAI
tersebut adalah sebagai berikut:
Peserta didik.
Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan
orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang
masih perlu dikembangkan.
Disisi lain, pendidikan itu berfungsi membentuk kepribadian
anak, mengembangkan agar mereka percaya diri dan menggapai kemerdekaan
kepribadian, pendidikan itu bergerak untuk mewujudkan perkembangan yang
sempurna dan mempersiapkannya dalam kehidupan, membantu untuk berinteraksi
sosial yang positif di masyarakat, menumbuhkan kekuatan dan kemampuan dan
memberikan sesuatu yang dimilikinya semaksimal mungkin. Juga menimbulkan
kekuatan atau ruh kreativitas, pencerahan dan transparansi serta pembahasan
atau analisis di dalamnya.
Peserta didik merupakan ukuran dari keberhasilan suatu
pendidikan. Masyarakat selalu menilai keberhasilan pendidikan dari output yang
berasal dari siswa. Problematika yang muncul drai peserta didik adalah umumnya
siswa yang telah belajar selama 12 tahun (SD, SMP, dan SMA), yang mana mata
pelajaran agama hanya diajarkan dua jam saja dalam satu minggu, masih
banyak yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak
menjalankan kewajiban sholat secra rutin, tidak beribadah puasa di bulan
Ramadhan, dan yang paling penting adalah kurang bisa berprilaku secara benar.[6]
Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal
dari latar belakang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Ada siswa yang
berasal dari keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari
keluarga yang kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga
yang tidak peduli dengan agama. Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang
kurang taat atau tidak peduli terhadap agama, perlu perhatian yang serius.
Sebab jika tidak, maka anak didik tidak akan peduli terhadap pendidikan agama,
lebih parah lagi mereka menganggap remeh pendidikan agama. Sikap ini akan
sangat berbahaya, meskipun demikian, tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi
peserta didik seperti; minat belajar, keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya.
Diantara problematika PAI yang berhubungan dengan peserta
didik adalah : (1) rendahnya minat peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu agama
Islam, (2) rendahnya minat dan kemampuan peserta didik untuk bisa membaca dan
memahami Al-Qur’an, (3) peserta didik belum memiliki dasar keimanan dan
ketakwaan yang kuat, sehingga mudah untuk terbawa arus, (4) semakin banyak
peserta didik yang berprilaku menyimpang dari moral agama, pergaulan bebas
semakin meningkat, (5) peserta didik terbiasa dengan narkoba, kekerasan, dan
tindak anarkis.[7]
Masalah yang paling memprihatinkan adalah tentang etika dan
akhlaq siswa. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dari Swiss, yang
telah melakukan penelitian di sebelas negara tentang faktor-faktor yang
meletarbelakangi menurunya ekonomi bangsa. Menurutnya, diantara faktor yang
paling mempengaruhi adalah akhlaq.[8]
Akhlaq seakan-akan menjadi acuan keberhasilan pendidikan
agama Islam, terutama pendidikan di tingkat SD/MI. Pendidikan dasar akan sangat
berimplikasi pada masa depan seseorang, maka dari itu, tidak mengejutkan ketika
Gunar Mirdal menyimpulkan sebagaimana di atas. Sebagai contoh, anak yang sejak
kecil dibiasakan untuk diberi imbalan ketika melakukan kebaikan, maka hal ini
akan terus dia amalkan, sehigga semakin banyak usianya, maka semakin banyak
imbalan yang dia minta, hal ini yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh segar.
Guru / Pendidik
Peran guru sangat penting dalam proses pendidikan. Bahkan ada
lelucon yang mengatakan andaikan pak Mendiknas dan Kabid Mapenda tidak masuk
kantor, sedangkan guru tetap masuk dan mengajar, maka pendidikan akan tetap
berjalan, akan tetapi ketika pak Mendiknas dan Kabid Mapenda masuk kantor
sedangak guru tidak masuk, maka KBM tidak berjalan dengan baik.[9]
Meskipun guru memegang peranan yang sangat sentral dalam
pendidikan, guru juga bisa menjadi sumber problem pendidikan, khususnya
pendidikan agama Islam. Problematika tersebut mencakup pola prilaku guru agama
yang kadang kurang bisa mencerminkan agama. Selain itu, seorang guru juga bisa
menimbulkan permasalahan, sebagaimana penulis kutip dari jurnal Islamic Studies
And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia : Other
problems have to do with teacher
competence, curriculum, instructional materials and infrastructure..Beberapa
guru memang dalam praktisnya tidak terlalu menguasai materi yang diajarkan,
terutama di sekolah-sekolah swasta di daerah, hal ini tetntu akan menimbulkan
persoalan, karena pendidikan agama idealnya dipegang oleh ahli dibidangnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin dan Suti’ah yang
mengutip pendapat Towaf. Bahwa guru juga memiliki andil dalam munculnya
problematika. Yakni metode yang digunakan cenderung monoton, sehingga siswa
kurang antusias dalam belajar PAI.[10]
Keluarga dan lingkungan
Situasi dan kondisi di dalam keluarga dan lingkungan sosial
sedikit banyak pasti berimbas pada siswa yang kemudian banyak memunculkan
permasalahan. Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan dan kegagalan siswa di semua aspek kehidupan seseorang, termasuk
pada permasalahan pendidikan. PAI akan semakin bermasalah ketika sering
dijumpainya orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, hal
ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, di pedesaan juga banyak ditemukan
orang tua yang kurang memberi perhatian serta tidah memberikan contoh bagaimana
PAI dalam aplikasinya sehari-hari.
Banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan
perkembangan pendidikan agama Islam ankanya karena beberapa faktor, diantaranya
adalah karena orang tua disibukkan dengan bekerja. Sehingga orang tua tidak ada
waktu untuk mengontrol sholat serta akhlaq anak ketika di rumah. Padahal
idealnya adalah guru mengajarkan materi keagamaan di sekolah, seperti tata cara
sholat, kepada siswa, kemudian aplikasinya adalah setiap hari siswa
melaksanakan sholat minimal lima kali dalam satu hari, akan tetapi masih ada
beberapa orang tua yang tidak memperhatikan sholat anaknya karena faktor
berkerja sebagaimana ditulis oleh pemakalah sebelumnya.
Lingkungan hidup siswa juga sangat brengaruh terhadap siswa.
Ketika lingkungan sosialnya merupakan lingkungan yang tingkat religiusnya
tinggi, maka siswa akan lebih memahami aplikasi PAI yang sesungguhnya, akan
tetapi ketika lingkunga sosialnya kurang memberi perhatian pada agama, maka
secara otomatis anak didik hanya akan menganggapa PAI hanya sekedar mata
pelajaran di sekolah sebagaimana mata pelajaran lain seperti IPA, IPS dan
Bahasa Indonesia.
Politik
Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap munculnya
problematika PAI. Ketika pemegang kekuasaan memutuskan sebuah kebijakan yang
mengamini bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting, maka
kurikulum yang diberlakukan akan memandang agama sebagai faktor yang
dipertimbangkan dalam merumuskan kurikulum, akan tetapi ketika pemegang
kekuasaan lebih fokus kepada pendidikan yang beorientasi pada materi eksakta
saja, maka pendidikan agama dianak tirikan dan kurang mendapat perhatian.
Politik juga memegang peranan dalam hal menyelesaiakan dan
menemukan solusi dalam dunia pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, akan
tetapi semua aspek dan problematika pendidikan. Keadaan politik yang stabil
maka akan berimplikasi bai disemua aspek kehidupan.
Probematika PAI bisa muncul di segala aspek eksternal lainya,
seperti, metode mengajar, fasilitas belajar, sarana dan prasarana. Akan tetapi
permasalahan yang mungkin muncul di semua aspek tersebut bisa ditutupi dengan
guru yang senantiasa bisa memanage sebaik mungkin. Aspek-aspek tersebut bisa
menjadi masalah jika seorang guru tidak berhasil untuk menyembunyikan
kekurangan dimana-mana dengan kesempurnaaan performa seorang guru.
demikian pembahasan tentang problematika pendidikan PAI di
indonesia dan penulis memberikan menjelaskan tentang [baca: strategi dakwah nabi muhammad saw] sebagai tambahan
wawasan anda untuk belajar agama islam. semoga bermanfaat.
[2]Carmen Abu Bakar,
Mainstreaming MAdrasah Education In The Philippines: Issues,
Problems And Challenges, (Islamic Studies And Islamic Education In
Contemporary Southeast Asia), 77.
[3] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum
Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009),
242.
[8] Fadhil al-Jamali, Menerabas
Krisis Pendidikan Dunia Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1981), cet
ke-1, 103. Yang dikutip oleh Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan
Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 169-170.
[10] Muhaimin & Suti’ah,
Paradigma Pendidikan Islam; Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di
Sekolah, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002), 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar