Kamis, 19 Oktober 2017

PERMASALAHAN INTERNAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



Pendidikan islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dimana peranan para pedagang dan mubaligh sangat besar andilnya dalam proses islamisasi di Indonesia. Salah satu jalur proses Islamisasi itu adalah pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika perkembangan kaum muslimin. Dalam suatu komunitas muslim, maka terdapat tingkat aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Mengetahui sejarah dari pendidikan Islam itu sendiri adalah sangat penting terutama di Indonesia, termasuk bagi para praktisi pendidikan. Dengan mempelajari sejarah masa lampau, umat Islam dapat memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran pendidikan Islam dari masa ke masa. Terutama interaksi yang terjadi dalam masyarakat, antara individu maupun antara golongan, akan menimbulkan suatu dinamika kehidupan kedinamikaan dan perubahan kehidupan akan bermuara pada terjadinya mobilitas sosial. Sehingga dapat dilakukan penyelidikan tentang struktur dan dinamika masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan dan hambatan yang dialami Pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa problematika internal yang dihadapi Pendidikan Islam yang mana pada akhirnya diharapkan dapat membantu para ahli pendidikan untuk menemukan solusi yang tepat.
  1. Rumusan Masalah
Apa saja problematika internal yang dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia?

  1. Tujuan Pembahasan
Mengetahui berbagai problematika internal yang dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia.


PEMBAHASAN
  1. Tantangan dan Konflik Internal Pendidikan Islam di Indonesia
  1. Menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM)
Tantangan pendidikan Agama Islam terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yaitu jika kualitas pendidikan menurun maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketakwaan, terdapatnya kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiris perkembangan masyarakat, serta pendidikan Islam tertinggal dalam hal metodologis.
Tantangan secara internal bahwa dalam lembaga pendidikan Islam itu berjalan semakin jauh menyimpang dari cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat-sifat yang nasional dan demokratis.
Salah satu permasalahan Pendidikan Islam yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.1 Banyak faktor yang ikut serta menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM), diantara strategi yang paling efektif dalam menentukan kualitas tersebut adalah melalui pendidikan. Maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan bagaimana pendidikan yang ditempuh masyarakat atau bangsa itu sendiri. Jadi maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa tergantung pada sebagian besar pendidikan yang berlaku dikalangan mereka.
Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan (Soeroyo, 1991: 77). Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
  1. Rendahnya Motivasi untuk maju dan berkembang lebih baik
Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam yang kompleks dan berat, dikarenakan dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif.
Kondisi ini menuntut lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena A.Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght], kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya (M.Arifin, 1991:3). A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban (A. Syafii Maarif, 1996: 5).
Mutu Pendidikan Islam di Indonesia Sekarang
Untuk mengetahui mutu pendidikan Islam bukanlah hal yang sederhana, sebab banyak aspek yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut. Berbagai sarana dan prasarana pendidikan hendaknya berorientasi pada peserta didik, bukan sebaliknya yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Setidak-tidaknya ada tiga indicator utama yang dapat menentukan tinggi rendahnya kualitas pendidikan, yaitu dana pendidikan, kelulusan pendidikan dan prestasi yang dicapai dalam membaca komprehensif.2 Sehingga dapat diuraikan sebagai berikut
  1. Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin dicapai tanpa dana yang cukup. Pendidikan yang berkualitas cenderung membutuhkan dukungan dana yang lebih besar daripada pendidikan yang berkualitas rendah, karena dana yang minim cenderung dapat menyebabkan anak mengalami drop out dan mengulang kelas yang tinggi, kecuali secara kasualistik bagi sejumlah kecil lembaga pendidikan Islam.
  2. Pendidikan yang berkualitas cenderung dapat menghasilkan angka-angka kelulusan yang cukup tinggi. Tentu saja criteria ini adalah angka yang sudah distandarkan.
  3. Kemampuan membaca komprehensif di negara berkembang seperti di Indonesia cenderung lebih rendah daripada di negara maju. Hal ini disebabkan kebiasaan menghafal dalam belajar siswa.
Kecenderungan Pendidikan Islam sekarang yang menitikberatkan pada pemberian bekal pengetahuan kepada anak didik dan sedikit dalam pembentukan values atau nilai-nilai dan karakter tentunya akan berpengaruh pada sikap anak didik. Semangat juang dan daya saing mereka menurun karena selama ini pendidikan Islam dalam hal pembentukan nilai-nilai dan karakter itu sangat minim.

  1. Kelemahan-kelemahan Pendidikan Islam yang tidak segera diatasi
Masalah internal yang dihadapi pendidikan Islam salah satunya adalah adanya kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tubuh pendidikan Islam itu sendiri. Menurut Mochtar Buchori (1992) menilai kegagalan pendidikan agama di sekolah-sekolah karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan. Atau dapat dikatakan dalam praktiknya pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islam.3
Kelemahan [weakness], bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Muchtar Buchori juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama Islam yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Pendidikan agama tidak boleh tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan nonagama kalau ingin mempunnyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.4
Towaf (1996) mengemukakan kelemahan-kelemahan Pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain sebagai berikut :
  1. Pendekatan masih cenderung normatif, dalam artian pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
  2. Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi GPAI seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
  3. GPAI kurang berupaya untuk menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agam Islam sehingga pelaksanaan pembelajaran terkesan monoton.
    1. Terbatasnya daya tampung dalam lembaga Pendidikan Islam
Daya tampung yang terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan Islam juga menjadi suatu problematika tersendiri selain juga tidak terpenuhinya cita-cita bangsa untuk memeratakan pendidikan bagi seluruh masyarakat. Masih ada daerah-daerah yang kekurangan sarana belajar sehingga menjadi kendala bagi peserta didik untuk belajar. Misalnya, di tingkat perguruan tinggi daya tamping di universitass negeri juga terbatas. Dipandang dari sudut-sudut penyebaran guru juga tidak merata, baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas yang terpusat dikota-kota. Banyak desa-desa terpencil sangat kekurangan guru terutama guru Pendidikan Agama Islam sehingga berpengaruh pada perkembangan sosial dalam masyarakat tersebut.
Salah satu komponen pokok terpenting dari pendidikan adalah guru. Dan juga salah satu permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam sekarang adalah masalah guru. Guru dalam lembaga pendidikan Islam masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
  1. Belum mampu untuk bersaing dengan lembaga pendidikan lain
Perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan. Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena system pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.
Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike (Mahfudh Djunaidi, 2005), dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.
Dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, yaitu :
Pertama, harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam harus dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu kerangka filosofis yang jelas dan baku. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dijauhkan dari buaian hellenisme yang diberi jubah Islam dan kita harus berada pada sumbu Islam, al-Qur’an, Hadis dan karir yang pernah diraih nabi Muhammad Saw. Maka kita tidak perlu berteriak, mari kita Islamkan ilmu modern”, yang hanya akan mengulangi hal serupa, yaitu pendidikan Barat yang dijustifikasikan dengan ayat-ayat Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut, yang pertama kali harus dimiliki adalah kemandirian dalam segala aspek. Dengan kemandirian tersebut, akan melindungi proses pengembangan pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan memperkosa proses pengembangan pendidikan Islam untuk tetap bersiteguh berdiri pada konsep yang murni dari al-Qur’an dan al-Hadis untuk memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim ini, (Ahmad Syafii Maarif, 1997: 67).
Memang diakui, bahwa untuk mengikis habis persoalan dikotomik bukan hal yang mudah, karena akan berhadapan dengan kontroversi pemikiran antar pemikiran kovensional (tradisional) dengan pemikiran kontemporer modern. Tetapi pada sisi lain, diakui bahwa secara malu-malu pendidikan Islam telah melakukan perubahan dengan mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Misalnya saja, kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama dengan memperkecil perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam secara malu-malu, istilah Azyumardi “malu-malu kucing” dan istilah Karel Steembrink, “menolak sambil mengikuti”. Artinya, pada akhirnya pendidikan Islam juga melakukan proses adaptasi dengan mengembangkan sistem mengikuti pendidikan umum. Maka kita harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an. Azyumardi, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan, keknian, masa depan dan kemanusian agar compatible dengan perkembangan zaman.5
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Artinya lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja. Hal itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral”.6 Memang diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam dan terampil dalam melaksanakannya [psikomotorik], tetapi kurang menghayati [afektif] kedalaman maknanya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama [spritual ilahiyah], ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah.
Tantangan dan kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan ada pula yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu kekuatan pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi mental yang di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi terwujudnya kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai banyak segi, seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal antara lain kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi mental lain yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya nalar atau rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara berpikir yang kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan umat manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali mencapai kesatuan pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat bagi kebangkitan moral-spiritual yang kuat. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dan bahkan bermanfaat untuk memperoleh pandangan yang luas tentang satu persoalan. Akan tetapi perbedaan pendapat harus diimbangi dengan kemampuan mencapai keputusan yang menguntungkan semua pihak (Win-Win Solution). Dengan begitu akan lebih terjamin kekompakan dan kemantapan perjuangan. .
Dalam pada itu kebangkitan material menghadapi kendala berupa tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang umumnya masih rendah. Hal ini sangat berbeda dengan masa lampau ketika justru umat Islam memegang peran penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kurang memadai, umat Islam tidak dapat membangun kemampuan ekonomi yang dapat menciptakan aneka ragam produksi dan jasa. Akibatnya tidak saja pada terbatasnya produktivitas, akumulasi modal dan rendahnya penghasilan, tetapi juga berpengaruh terhadap kemajuan berkreasi dalam segala aspek kebudayaan. Juga kemampuan berpolitik akan kurang berkembang. Kemampuan membela dan mengamankan diri juga menjadi terbatas kalau penghasilan dan produksi rendah. Alhasil, seluruh kesejahteraan tidak berada pada tingkat yang tinggi. Agar supaya Kebangkitan Islam membawa masa depan yang lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai perubahan yang menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat Islam. Oleh sebab itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang penuh vitalitas atau daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perubahan ke arah kemajuan.
Selain persoalan tersebut, pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi.
    1. Perubahan Yang Perlu dilakukan Pendidikan Islam
Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu:
[1] Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusia [insaniyah], dan masyarakat, serta budaya.
[2]Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah [otonomi daerah] dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas.
[3]Meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat.
Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]".
b. Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".
c. Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri",
d. Pendidikan Islam, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" 7
Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat". Dalam "pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya" .8Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga "sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat" .9
Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan "keluhuran moral" dan "kepribadian", sehingga pendidikan Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus [long life education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan10 , serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.
Di samping hal di atas, secara umum, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan setiap pengelola pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitasnya. Pertama, profesionalisme. Setiap lembaga pendidikan Islam tidak boleh lagi dikelola sekadarnya. Karena itu, semuanya harus berbenah secara serius menuju area profesionalisme. Tidak ada lagi orang yang hanya bermodal “hebat dan berniat baik” latah dan asal-asalan mendirikan lembaga pendidikan Islam. Segalanya mesti dipikirkan dan dikelola secara profesional. Pendidikan Islam sangat butuh orang-orang yang dapat menahan diri untuk tidak membawa masalah luar ke dalam organisasi. Jangan lagi ada orang yang hanya menjadikan lembaga sebagai kendaraan ambisi pribadinya, mendapatkan kedudukan, kekayaan atau mendongkrak prestise. Tentu saja, semua tenaga profesional itu diberi imbalan yang sesuai. Tidak boleh lagi ada yang hanya “digaji” sekadar untuk ongkos jalan.
Kedua, kemandirian. Ketergantungan yang besar terhadap pihak tertentu, terutama masalah finansial, membuat pendidikan Islam sulit berkembang. Apalagi jika harapan satu-satunya sumber finasial itu adalah siswa atau orang tua. Pengelola harus lebih kreatif dan gigih menyongsong kemandirian finansial. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggali lebih serius potensi internal lembaga atau membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Saat ini, sangat banyak lembaga pendidikan lain yang eksis “hanya” karena bisa bekerjasama dengan orang atau lembaga donor, nasional dan internasinal, tanpa mengorbankan jatidiri mereka. Jangan alergi dulu dengan lembaga internasional, apalagi kalau alasan ini hanya untuk menutupi ketidakmampuan pengelolanya.
Ketiga, menggairahkan studi ke-Islaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa sepinya peminat pendidikan Islam karena adanya anggapan, yang banyak benarnya, bahwa pendidikan Islam hanya berorientasi akhirat. Mereka memburu pendidikan umum karena butuh ilmu untuk sukses dalam kehidupan di dunia, atau dunia akhirat. Para pelajar dan orang tua lebih berminat memasuki program studi umum karena dianggap lebih menjamin masa depan. Trend ini harus dihadapi dengan menggairahkan studi Islam. Materi pembelajaran tidak boleh lagi dibiarkan terus-menerus menjauh dari realitas dunia, tapi harus ada upaya “pembumian”. Orang yang mendalami ilmu-ilmu Islam tidak boleh lagi merasa di awang-awang, tapi menginjak bumi karena hasil studinya akan dapat dinikmati dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan paradigma baru tersebut, pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi. Meskipun saat sekarang ini "konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang "termarginalkan" dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan masyarakat global.
Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari "percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan.
C.Analisis SWOT Pendidikan Islam Terkait dengan Masalah-masalah Internal
Pendidikan Islam (bukan kelembagaan), jika kita evaluasi dengan SWOT (salah satu alat evaluasi dalam manajemen) maka kita melihat dari :
Strength : Situasi kondisi kekuatan dari pendidikan Islam bahwa Islam sebagai milah/ agama yang mempunyai nilai kebenaran universal maka kita dapat melihat dari sisi kekuatannya :
1. mempunyai ajaran-ajaran/nilai kebenaran univarsal yang dapat diterapkan dalam segala bidang
2. mempunyai prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri)
3. mempunyai prinsip keadilan (al-‘adalah), keseimbangan ( al-Tawazun )dll
4. mempunyai prinsip ajaran berproses dan ilmiah ( kun fa yakun )
5. mempunyai ajaran monoteis (yang tidak terikat oleh ruang dan waktu)
6. mengedepankan pembentukan karakter / akhlak al-karimah / moral /etik
7. mementingkan pendidikan keluarga dan lingkungan
8. ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman
9. mempunyai spirit dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan

Weakness adalah situasi kondisi kelemahan pendidikan Islam antara lain : belum mempunyai manajemen pendidikan secara sistematis belum seimbangnya rasio SDM (steakholder,guru) yang professional paradigma pemisahan antara pendidikan Islam dan umum masih kurangnya pengembangan kurikulum pendidikan Islam belum adanya sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa kurangnya hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam kurangnya inovasi-inovasi metode pengajaran dalam pendidikan Islam masih kurangnya lembaga-lembaga pelatihan guru pendidikan Islam.
Opportunity adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar Pendidikan islam dan memberikan peluang berkembang bagi pendidikan Islam di masa depan antara lain : Tujuan Pendidikan Nasional dan undang-undang serta permen tentang Sisdiknas, Pemisahan antara pendidikan umum/ barat dan pendidikan Islam Era globalisasi yang berindikasi bebasnya nilai-nilai Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia akan religitas.

Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi pendidikan Islam yang datang dari luar dan dapat mengancam eksistensi pendidikan Islam di masa depan
1. ajaran dan budaya selain Islam
2. sekularisasi
3. pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam
4. pemahaman rasionalis dan pragmatisme









KESIMPULAN
Tantangan dan kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan ada pula yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu kekuatan pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi mental yang di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi terwujudnya kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai banyak segi, seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal antara lain kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi mental lain yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya nalar atau rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara berpikir yang kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan umat manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali mencapai kesatuan pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat bagi kebangkitan moral-spiritual yang kuat.
Agar supaya Kebangkitan Islam membawa masa depan yang lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai perubahan yang menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat Islam. Oleh sebab itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang penuh vitalitas atau daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perubahan ke arah kemajuan.
Tantangan internal yang menyangkut pendidikan agama Islam sebagai program pendidikan, baik dari segi orientasi pendidikan agama yang kurang tepat, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran agama Islam, perancangan dan penyusunan materi yang kurang tepat, maupun metodologi dan evaluasinya, serta pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri yang sebagiannya masih bersifat eksklusif dan belum mampu berinteraksi dan bersinkronisasi dengan yang lainnya.



DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, http:// islamlib. com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003
Daulay, Haidar Putra.Dr.H. Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.2006.
DEPAG. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta.2005
Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998) .
Muhaimin, Drs. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.2001
Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.
www.journal.uii.ac.id
www.konsultanpendidikanislam.blogspot.com
www.sayidiman.suryohadiprojo.com
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta. 2000


1 DEPAG, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hal.163
2 Ibid
3 Muhaimin, Drs. Paradigma Pendidikan Islam. Hal.88
4 Ibid.hal.89
5 [Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003].
6 (A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,:52). ilahiyah
7 Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta. Hal.9
8 Ibid, hal.9
9 Ibid, hal.9
10 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998) . hal. 97-98

Diposkan oleh mikir_dunk di 11.55
Reaksi: 

Description: https://resources.blogblog.com/img/icon18_email.gif
1 komentar:
  1. Description: http://lh4.googleusercontent.com/-Agf00FubDeo/AAAAAAAAAAI/AAAAAAAADe8/W9Fsi6IVPIQ/s35-c/photo.jpg
FBS Indonesia - FBS ASIAN adalah salah satu Group Broker Forex Trading FBS Markets Inc
yang ada di ASIA dimana kami adalah online support partner fbs perwakilan yang sah dipercayakan oleh perusahaan FBS untuk melayani semua klien fbs
di asia serta fbs yang ada di indonesia.
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di http://fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
Link ke posting ini
"Manusia adalah apa yang dia pikirkan"
My CALENDER
ACTIVITY
Description: ACTIVITY
My Friends?
Arsip Blog
About Me
Description: Foto saya
Rieris Lutfi N.L, usually called Rieris. or up to You... A student in State Islamic University Of Malang. Daily activty yoiku berjuang bareng laskar jihad yang lain `tuk capai kebebasan yang berbatas. wesss....pokoknya hidup buat yang nyenengin hati sendiri `n orang lain.

Ada kesalahan di dalam gadget ini
w.rangkumanmakalah.com I Dalam problematika pendidikan PAI.  Tidak ada gading yang tidak retak. Menurut penulis pribahasa ini cukup bisa mewakili pendidikan agama Islam di Indonesia sekarang ini. [baca: perkembangan demokrasi di indonesia] Tidak sedikit dijumpai buku-buku dan tulisan-tulisan yang menunjukkan kegemilangan pendidikan agama Islam, pendidikan agama Islam dianggap sudah bisa menghantarkan siswa menjadi pribadi yang mengusai bagaimana cara berinteraksi yang baik dan benar, baik secara vertikal maupun horisontal. Di sisi lain, masih banyak dijumpai kekurangan serta problematika pendidikan agama Islam yang perlu mendapat perhatian khusus
Problematika selalu menuntut untuk bisa diselesaikan. Begitu juga dengan problematika pendidikan agama Islam. Dalam studi problematika PAI, tidak hanya dikaji tentang masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga berusaha menemukan solusi dan jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran,  tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif saja. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi, maka tidak heran ketika banyak dijumpai anak yang menadapat niai bagus dalam mata pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan prilaku keseharian cenderung menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaiman a disebutkan oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di sekolah kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, yaitu hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak hanya dalam hal kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya ajaran agama yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku sehari-hari.[1]
Problematika PAI tidak hanya tumbuh subur di Indonesia. Di Filipina permasalahan ini sudah banyak diperbincangakan sejak 1980, dan ditahun yang sama diadakan sebuah konferensi untuk membahas problematika ini. berikut ini adalah problematika yang ditemukan: 1.  Curriculum 2.  Inadequate resources 3.  Lack of competent teachers 4.  Lack of competent administrators 5.  Lack  of  adequate  teaching  materials  (no  relevant  textbooks  and  referen-ces) 6.  Lack of school facilities such as buildings, etc. 7.  Peace and order as an extraneous factor affecting the normal operation of madrasah.[2]
Enam permasalahan yang muncul di Filipina hampir ada kesamaan dengan yang terjadi di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Bedanya, di Filipina hal tersebut sudah menjadi perhatian khusus bahkan sejak tahun 1980, akan tetapi di Indonesia belum ada konferensi yang memperbincangkan problematika PAI.   Ruang Lingkup Studi Problematika PAI
Dalam mengkaji problematika PAI yang berkembang baik di lembaga pendidikan Islam maupun d lembaga yang tidak ber latar belakang Islam selalu menjadi hal yang menarik. Karena masalah yang muncul dalam PAI seakan tidak pernah ada habisnya.
Secara garis besar problematika yang dihadapi oleh pendidikan agama Islam bisa digolongkan menjadi dua.
Pertama, permasalahan yang bersumber dari internal.
 Maksudnya adalah permasalahan yang muncul dari materi pendidikan agama Islam itu sendiri, karena materi dalam pendidikan agama Islam mayoritas berupa sesuatu yang abstrak. Kedua, permasalahan yang bersumber dari ekternal. Eksternal disini mencakup lingkungan, guru, keadaan ekonomi siswa, politik dan orang tua.[3]
Problematika yang muncul dari internal siswa cenderung lebih mudah untuk ditangani. Karena guru bisa memilah dan memilih materi apa yang tepat diajarkan kepada peserta didik di level belajar tertentu. Kurikulum juga termasuk dalam problematika yang bersumber dari internal, kurikulum dianggap sebagai pedoman dalam setiap proses belajar mengajar.
           Kuriulum PAI yang digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak terlalu luas, lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan persoalan-persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan amalan-amalan ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.[4]
           Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.
           Disamping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati mengenai definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran, kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik dan tujuan didik di dalam dan  di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk perkembangan menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pembelajaran.[5]
           Namun merealisasikan kurikulum yang ada disuatu lembaga pendidikan bukanlah suatu hal yang mudah, sedangkan alokasi waktu untuk pembelajaran pendidikan agama islam sangat sedikit. Dengan demikian dapat menjadi problem dalam pembelajaran pandidikan agama islam.
Permasalahan yang bersumber dari eksternal cenderung lebih kompleks dan menuntut banyak kerja keras untuk bisa menyelesaikanya.
Diantara faktor ekternal dalam problematika pendidikan PAI tersebut adalah sebagai berikut:
Peserta didik.
Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Disisi lain, pendidikan itu berfungsi membentuk kepribadian anak, mengembangkan agar mereka percaya diri dan menggapai kemerdekaan kepribadian, pendidikan itu bergerak untuk mewujudkan perkembangan yang sempurna dan mempersiapkannya dalam kehidupan, membantu untuk berinteraksi sosial yang positif di masyarakat, menumbuhkan kekuatan dan kemampuan dan memberikan sesuatu yang dimilikinya semaksimal mungkin. Juga menimbulkan kekuatan atau ruh kreativitas, pencerahan dan transparansi serta pembahasan atau analisis di dalamnya.
Peserta didik merupakan ukuran dari keberhasilan suatu pendidikan. Masyarakat selalu menilai keberhasilan pendidikan dari output yang berasal dari siswa. Problematika yang muncul drai peserta didik adalah umumnya siswa yang telah belajar selama 12 tahun (SD, SMP, dan SMA), yang mana mata pelajaran agama hanya diajarkan dua jam saja dalam satu minggu,  masih banyak yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak menjalankan kewajiban sholat secra rutin, tidak beribadah puasa di bulan Ramadhan, dan yang paling penting adalah kurang bisa berprilaku secara benar.[6]
Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal dari latar belakang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal dari keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari keluarga yang kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga yang tidak peduli dengan agama. Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang kurang taat atau tidak peduli terhadap agama, perlu perhatian yang serius. Sebab jika tidak, maka anak didik tidak akan peduli terhadap pendidikan agama, lebih parah lagi mereka menganggap remeh pendidikan agama. Sikap ini akan sangat berbahaya, meskipun demikian, tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik seperti; minat belajar, keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya.
Diantara problematika PAI yang berhubungan dengan peserta didik adalah : (1) rendahnya minat peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu agama Islam, (2) rendahnya minat dan kemampuan peserta didik untuk bisa membaca dan memahami Al-Qur’an, (3) peserta didik belum memiliki dasar keimanan dan ketakwaan yang kuat, sehingga mudah untuk terbawa arus, (4) semakin banyak peserta didik yang berprilaku menyimpang dari moral agama, pergaulan bebas semakin meningkat, (5) peserta didik terbiasa dengan narkoba, kekerasan, dan tindak anarkis.[7]
Masalah yang paling memprihatinkan adalah tentang etika dan akhlaq siswa. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dari Swiss, yang telah melakukan penelitian di sebelas negara tentang faktor-faktor yang meletarbelakangi menurunya ekonomi bangsa. Menurutnya, diantara faktor yang paling mempengaruhi adalah akhlaq.[8]
Akhlaq seakan-akan menjadi acuan keberhasilan pendidikan agama Islam, terutama pendidikan di tingkat SD/MI. Pendidikan dasar akan sangat berimplikasi pada masa depan seseorang, maka dari itu, tidak mengejutkan ketika Gunar Mirdal menyimpulkan sebagaimana di atas. Sebagai contoh, anak yang sejak kecil dibiasakan untuk diberi imbalan ketika melakukan kebaikan, maka hal ini akan terus dia amalkan, sehigga semakin banyak usianya, maka semakin banyak imbalan yang dia minta, hal ini yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh segar.
Guru / Pendidik
Peran guru sangat penting dalam proses pendidikan. Bahkan ada lelucon yang mengatakan andaikan pak Mendiknas dan Kabid Mapenda tidak masuk kantor, sedangkan guru tetap masuk dan mengajar, maka pendidikan akan tetap berjalan, akan tetapi ketika pak Mendiknas dan Kabid Mapenda masuk kantor sedangak guru tidak masuk, maka KBM tidak berjalan dengan baik.[9]
Meskipun guru memegang peranan yang sangat sentral dalam pendidikan, guru juga bisa menjadi sumber problem pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam. Problematika tersebut mencakup pola prilaku guru agama yang kadang kurang bisa mencerminkan agama. Selain itu, seorang guru juga bisa menimbulkan permasalahan, sebagaimana penulis kutip dari jurnal Islamic Studies And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia : Other  problems  have  to  do  with  teacher  competence, curriculum, instructional materials and infrastructure..Beberapa guru memang dalam praktisnya tidak terlalu menguasai materi yang diajarkan, terutama di sekolah-sekolah swasta di daerah, hal ini tetntu akan menimbulkan persoalan, karena pendidikan agama idealnya dipegang oleh ahli dibidangnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin dan Suti’ah yang mengutip pendapat Towaf. Bahwa guru juga memiliki andil dalam munculnya problematika. Yakni metode yang digunakan cenderung monoton, sehingga siswa kurang antusias dalam belajar PAI.[10]
Keluarga dan lingkungan
Situasi dan kondisi di dalam keluarga dan lingkungan sosial sedikit banyak pasti berimbas pada siswa yang kemudian banyak memunculkan permasalahan. Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan siswa di semua aspek kehidupan seseorang, termasuk pada permasalahan pendidikan. PAI akan semakin bermasalah ketika sering dijumpainya orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, hal ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, di pedesaan juga banyak ditemukan orang tua yang kurang memberi perhatian serta tidah memberikan contoh bagaimana PAI dalam aplikasinya sehari-hari.
 Banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan pendidikan agama Islam ankanya karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena orang tua disibukkan dengan bekerja. Sehingga orang tua tidak ada waktu untuk mengontrol sholat serta akhlaq anak ketika di rumah. Padahal idealnya adalah guru mengajarkan materi keagamaan di sekolah, seperti tata cara sholat, kepada siswa, kemudian aplikasinya adalah setiap hari siswa melaksanakan sholat minimal lima kali dalam satu hari, akan tetapi masih ada beberapa orang tua yang tidak memperhatikan sholat anaknya karena faktor berkerja sebagaimana ditulis oleh pemakalah sebelumnya.
Lingkungan hidup siswa juga sangat brengaruh terhadap siswa. Ketika lingkungan sosialnya merupakan lingkungan yang tingkat religiusnya tinggi, maka siswa akan lebih memahami aplikasi PAI yang sesungguhnya, akan tetapi ketika lingkunga sosialnya kurang memberi perhatian pada agama, maka secara otomatis anak didik hanya akan menganggapa PAI hanya sekedar mata pelajaran di sekolah sebagaimana mata pelajaran lain seperti IPA, IPS dan Bahasa Indonesia.
Politik
Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap munculnya problematika PAI. Ketika pemegang kekuasaan memutuskan sebuah kebijakan yang mengamini bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting, maka kurikulum yang diberlakukan akan memandang agama sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam merumuskan kurikulum, akan tetapi ketika pemegang kekuasaan lebih fokus kepada pendidikan yang beorientasi pada materi eksakta saja, maka pendidikan agama dianak tirikan dan kurang mendapat perhatian.
Politik juga memegang peranan dalam hal menyelesaiakan dan menemukan solusi dalam dunia pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, akan tetapi semua aspek dan problematika pendidikan. Keadaan politik yang stabil maka akan berimplikasi bai disemua aspek kehidupan.
Probematika PAI bisa muncul di segala aspek eksternal lainya, seperti, metode mengajar, fasilitas belajar, sarana dan prasarana. Akan tetapi permasalahan yang mungkin muncul di semua aspek tersebut bisa ditutupi dengan guru yang senantiasa bisa memanage sebaik mungkin. Aspek-aspek tersebut bisa menjadi masalah jika seorang guru tidak berhasil untuk menyembunyikan kekurangan dimana-mana dengan kesempurnaaan performa seorang guru.
demikian pembahasan tentang problematika pendidikan PAI di indonesia dan penulis memberikan menjelaskan tentang [baca: strategi dakwah nabi muhammad saw] sebagai tambahan wawasan anda untuk belajar agama islam. semoga bermanfaat.
[1] Ibid; 158.
[2]Carmen Abu Bakar,  Mainstreaming MAdrasah Education  In The  Philippines: Issues, Problems And Challenges, (Islamic Studies And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia), 77.
[3] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009), 242.
[4] Ibid.
[5] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997) 75.
[6] Muhaimin, Pemikiran, 157.
[7] Ibid; 159.
[8] Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1981), cet ke-1, 103. Yang dikutip oleh Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 169-170.
[9] Muhaimin, Pemikiran, 162.
[10] Muhaimin & Suti’ah, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002), 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar