BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kecerdasan
sosial adalah kemampuan untuk secara efektif menavigasi dan bernegosiasi dalam interaksi dan lingkungan
sosial. Menurut ilmuwan
data Ross
Honeywill, kecerdasan sosial adalah gabungan
dari kesadaran diri dan kesadaran sosial, evolusi keyakinan sosial dan sikap,
serta kapasitas dan kemampuan mengelola perubahan sosial yang kompleks. Psikolog Nicholas
Humphrey percaya bahwa kecerdasan sosial,
bukan kecerdasan kuantitatif, yang mendefinisikan manusia.
Definisi
pertama kecerdasan sosial oleh Edward
Thorndike pada tahun 1920 adalah
"kemampuan untuk memahami dan mengelola laki-laki dan perempuan dan anak
perempuan, untuk bertindak bijaksana dalam hubungan manusia". Hal
ini setara dengan kecerdasan interpersonal,
salah satu jenis kecerdasan yang diidentifikasi dalam teori kecerdasan
majemuk Howard Gardner, dan terkait
erat dengan teori pikiran. Menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang
untuk memahami lingkungannya secara optimal dan bereaksi dengan tepat untuk
sukses secara sosial.
Hakikat semua hal yang ada di dunia
ini memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yakni sisi positif dan negatif. Begitu
pula dengan kemajuan tekhnologi. Awalnya, tekhnologi diciptakan untuk
memudahkan aktifitas manusia. Akan tetapi, pada tataran lebih jauh, hasil
ciptaan ini seperti senjata makan tuan. Keberadaan tekhnologi akhirnya
menggerus identitas manusia sebagai makhluk sosial.
Seiring
dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi,
perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu
diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak
sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk
ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila
ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap bagaimana
hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap
sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu
dengan adanya orang lain.
Keadaan
seperti ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat,
juga peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu
lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan
kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan.
Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh
dan kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua
mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada
anak misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah
atau bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua.
Di
samping hal tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan
mengistimewakan kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan
ini. Saat ini bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia
sekolah mempunyai aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga
tak akan mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang
anak yang disibukan dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les
pelajaran ini dan itu, memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak.
Orang tua kebanyakan bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami
peningkatan nilai disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan,
yakni kecerdasan sosial.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an Substansi
manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur
nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam
beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minun/23:12-14 sebagai berikut:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الاِ نْسَنَ مِنْ سُلَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ ( ) ثُمَّ جَعَلْنَهُ نطفة فى قرار مكين ( ) ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة
فخلقنا المضغة عظما فكسونا العظم لحما ثم أنشأ نه خلقا ءاخر فتبارك الله أَحْسَنُ
الْئخَلِقِين ( )
Mendefinisikan
kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut
:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُوَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ (رواه الترمذي)
IQ merupakan kependekan dari Intelligence
Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektual, analitis (kemampuan
menganalisa), logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, IQ berkaitan pada
keterampilan berbicara, kesadaran akan sesuatu di sekelilingnya dan penguasaan
matematika.[1]
Salah satu contoh sederhananya ialah
apabila langit mendung, maka hari akan hujan.
EQ adalah kemampuan berkomunikasi seseorang dalam dua
dimensi, yaitu arah ke dalam (personal) dan arah ke luar
(interpersonal).Personal ialah komunikasi yang dilakukan seseorang pada dirinya
sendiri.Hal ini berguna untuk menumbuhkan kesadaran diri (self awareness),
penerimaan diri (self acceptance), menghargai diri sendiri (self
respect), dan penguasaan diri (self mastery).[2]
Contohnya ketika kita mengharapkan
papa membelikan handphone tetapi papa tidak mengabulkannya.Pada masalah ini EQ
personal kita bermain, seberapa besar kesadaran diri tentang manfaat handphone
terhadap kita.
SQ adalah kemampuan seseorang untuk
dapat memahami arti hidup.Hal ini menyangkut hubunganmu dengan Tuhan, Sobat
Orbit.
AQ adalah kemampuan seseorang saat
menghadapi segala kesulitan.Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan
menghadapi kesulitan tersebut, sebagian orang lainnya mudah takluk dan
menyerah.
ESQ merupakan sebuah singkatan dari Emotional
Spiritual Quotient yang merupakan gabungan EQ dan SQ, yaitu Penggabungan
antara pengendalian kecerdasan emosi dan spiritual. Definisi, Emosional
Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah Model Kemampuan seseorang untuk
memberi Makna Spiritual terhadap Pemikiran, Prilaku/Akhlak dan Kegiatan, serta
Mampu Menyinergikan IQ (Intelegent Quotient) yang terdiri dari IQ
Logika/Berpikir dan IQ Financial / Kecerdasan memenuhi kebutuhan
hidupnya/keuangan, EQ (Emosional Quotient) dan SQ (Spiritual
Quotient) secara komprehensif.
Manfaat yang bisa di dapat adalah
tercapainya keseimbangan antara hubungan Horizontal (manusia dengan manusia)
dan Vertikal (manusia dan Tuhan).ESQ juga dapat membuat kita lebih percaya diri
dalam melakukan suatu tindakan.
Pemilik
IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan.Seringkali ditemukan pemilik IQ
tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses
luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam
memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan
efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ).[3]
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat
diperoleh tanpa IQ.Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple
intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan
al-kamilah). Untuk penyiapan Sumber daya Manusia di masa depan,
internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan
secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci
yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga
substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang
membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi
satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun
naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan
taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling
rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah
daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat
dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang
dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan
kecerdasan ruhani (SQ).[4]
Hasil penelitian Daniel
Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% terhadap
kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam
keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi
sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian?
Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak
teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial,
dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi
orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh
anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan pada
zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak kita akan lebih
mudah dalam meraih kesuksesan.
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1)
Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami
simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemampuan seseorang dalam
memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam
memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini menjadi
akar istilah kecerdasan emosional.[5]
Charles Handy membagi kecerdasan manusia menjadi tujuh macam (1) Kecerdasan logika
kecerdasan ini sangat terkait dengan kemampuan manusia dalam menalar dan
menghitung (2) Kecerdasan verbal kemampuan manusia dalam menjalin hubungan
dengan orang lain kemampuan menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi (3)
Kecerdasan praktik kemampuan manusia dalam mempraktikan ide yang ada
dalam pikirannya (4) Kecerdasan dalam bidang musik kemampuan untuk bisa
merasakan nada dan irama yang bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama
musik yang baik (5) Kecerdasan intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa
memahami segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan
interpersonal kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam
memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain (7) Kecerdasan spasial kecerdasan
manusia dalam menggali ruang atau dimensi, garis maupun warna.
Howard Gardner kecerdasan manusia terbagi menjadi delapan jenis
diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1) Intelligence Quotient (IQ)
atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari
sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir kecerdasan ini bisa diukur dari
sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Kecerdasan ini pada umumnya dapat
dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua termasuk juga pendidikan formal di
sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional
kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok yakni kesadaran diri,
manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah hubungan sosial.
Kecerdasan emosional ini ditemukan oleh Daniel Goldman dalam bukunya
Emotional Intelligence, Daniel
menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20%
dan sisanya 80% ditentukan oleh sederetan factor yang disebutnya sebagai
kecerdasan emosional. (3) Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan
spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal
diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik
sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual terkait erat dengan
kemampuan yang berujung pencerahan jiwa.[6]
Dalam konteks keIndonesian, UU Guru
dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah
menyampaikan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki
kecerdasan sosial agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal
yang penting ini. Apalagi bila kita menengok ke belakang, lebih tepatnya pada
masa-masa kritis multidimensi yang telah melanda Indonesia pada 1997.Pada masa
tersebut, betapa kita semua menyaksikan sebagian masyarakat Indonesia telah
kehilangan kearifan-kearifan sosial yang agung. Misalnya, sikap untuk bisa
bertoleransi kepada orang lain telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan
berempati entah tinggal seberapa tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semangat
untuk bisa menolong serta berbagi kepada sesama telah dikalahkan oleh sifat
egois atau bahkan emosi yang tak terkedali.
Dewasa ini publik juga mulai
menyadari bahwa kecerdasan sosial itu sangat penting agar seseorang bisa sukses
dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah
lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa
banyak orang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memiliki
kecerdasan sosial yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama, mempunyai
rasa empati, atau piawai dalam menjalin komunikasi.
Modern dimanjakan dengan aneka
mainan yang serba instan dan bahkan tinggal klik di game online.Berbeda
dengan anak-anak pada zaman dahulu. Ketika menginginkan mainan mobil –mobilan,
misalnya, maka mereka membuatnya beramai-ramai dengan menggunakan batang pohon
pisang, kulit jeruk bali, sabut kelapa, atau bahkan dari tangkai bunga tebu.
Antara anak yang satu dengan yang lainnya sudah terbiasa saling membantu dalam
sebuah kehidupan sosial.Disinilah kecerdasan sosial anak terasah dengan baik.
Ketika dunia permainan anak-anak
pada era kini telah dibatasi dalam sebuah ruang yang dipenuhi dengan
kecanggihan tekhnolgi, maka kecerdasan sosialnya tidak akan berkembang dengan
baik. Lagi pula, arena bermain bagi anak, terutama di daerah perkotaan sudah
mulai menyempit, atau bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali.
Kenyataan bahwa kecerdasan sosial pada anak-anak yang pada umumnya tidak bisa
dikembangkan secara optimal ini semakin perlu untuk mendapatkan perhatian
ketika pendidikan di sekolah formal atau regular lebih menekankan pengembagan
kecerdasan intelektual.
Melihat bahwa kecerdasan pada anak
adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan, maka sudah tidak ada alasan
lagi bagi pendidik untuk menunda.Saatnya sekarang untuk membimbing dan menemani
tumbuh dan berkembangnya anak didik kita.
Banyak kalangan merasa prihatin
ketika mendapati anak-anak pada zaman sekarang ini.
Masalah
ini penting untuk diteliti lebih jauh sehingga dapat diperoleh gambaran yang
jelas tentang cara mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di Sekolah Dasar
Negeri Jawa 2 Martapura, agar kedepannya dapat dijadikan bahan pelajaran bagi
kita semua terutama orangtua dan guru pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui
para orang tua dan pendidik sangat berperan dalam mengambangkan keerdasan sosial
anak untuk keberhasilan perkembangannya di masa akan datang. Disinilah penulis
mencoba meneliti sebuah penelitian bagaimana seorang pendidik PAI dalam
mendidik dan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak dengan judul.“
[1] Chaterine
Shanaz, Memori Super, (jogjakarta: PT Buku Kita, 2016), h, 98
[3] Salsa
az-Zahra, Membimbing Spritual anak, (jogjakarta: Darul Hikma, 2016), h,
47
[4] Akhma Muhaimi
Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h, 23
[5] De Porte Bobbi
& Hernacki Mike, Quantum Learning, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2009), h, 123
[6] Akhmad
Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak,
(Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016),h, 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar