Minggu, 29 Oktober 2017

bab 1 kecerdasan sosial



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk secara efektif menavigasi dan bernegosiasi dalam interaksi dan lingkungan sosial. Menurut ilmuwan data Ross Honeywill, kecerdasan sosial adalah gabungan dari kesadaran diri dan kesadaran sosial, evolusi keyakinan sosial dan sikap, serta kapasitas dan kemampuan mengelola perubahan sosial yang kompleks. Psikolog Nicholas Humphrey percaya bahwa kecerdasan sosial, bukan kecerdasan kuantitatif, yang mendefinisikan manusia.
Definisi pertama kecerdasan sosial oleh Edward Thorndike pada tahun 1920 adalah "kemampuan untuk memahami dan mengelola laki-laki dan perempuan dan anak perempuan, untuk bertindak bijaksana dalam hubungan manusia". Hal ini setara dengan kecerdasan interpersonal, salah satu jenis kecerdasan yang diidentifikasi dalam teori kecerdasan majemuk Howard Gardner, dan terkait erat dengan teori pikiran. Menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang untuk memahami lingkungannya secara optimal dan bereaksi dengan tepat untuk sukses secara sosial.
Hakikat semua hal yang ada di dunia ini memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yakni sisi positif dan negatif. Begitu pula dengan kemajuan tekhnologi. Awalnya, tekhnologi diciptakan untuk memudahkan aktifitas manusia. Akan tetapi, pada tataran lebih jauh, hasil ciptaan ini seperti senjata makan tuan. Keberadaan tekhnologi akhirnya menggerus identitas manusia sebagai makhluk sosial.
Seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi, perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap  bagaimana hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu dengan adanya orang lain.
Keadaan seperti ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan. Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh dan  kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada anak misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua.
Di samping hal tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah mempunyai aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga tak akan mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang anak yang disibukan dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les pelajaran ini dan itu, memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orang tua kebanyakan bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan sosial.
 Substansi Manusia dalam Al-Qur’an Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minu­n/23:12-14 sebagai berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الاِ نْسَنَ مِنْ سُلَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ (  ) ثُمَّ جَعَلْنَهُ نطفة فى قرار مكين (  ) ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظما فكسونا العظم لحما ثم أنشأ نه خلقا ءاخر فتبارك الله أَحْسَنُ الْئخَلِقِين (   )
Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut : 
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُوَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ  (رواه الترمذي)
IQ merupakan kependekan dari Intelligence Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektual, analitis (kemampuan menganalisa), logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, IQ berkaitan pada keterampilan berbicara, kesadaran akan sesuatu di sekelilingnya dan penguasaan matematika.[1]
Salah satu contoh sederhananya ialah apabila langit mendung, maka hari akan hujan.
EQ adalah kemampuan berkomunikasi seseorang dalam dua dimensi, yaitu arah ke dalam (personal) dan arah ke luar (interpersonal).Personal ialah komunikasi yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri.Hal ini berguna untuk menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), penerimaan diri (self acceptance), menghargai diri sendiri (self respect), dan penguasaan diri (self mastery).[2]
Contohnya ketika kita mengharapkan papa membelikan handphone tetapi papa tidak mengabulkannya.Pada masalah ini EQ personal kita bermain, seberapa besar kesadaran diri tentang manfaat handphone terhadap kita.
SQ adalah kemampuan seseorang untuk dapat memahami arti hidup.Hal ini menyangkut hubunganmu dengan Tuhan, Sobat Orbit.
AQ adalah kemampuan seseorang saat menghadapi segala kesulitan.Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan menghadapi kesulitan tersebut, sebagian orang lainnya mudah takluk dan menyerah.
ESQ merupakan sebuah singkatan dari Emotional Spiritual Quotient yang merupakan gabungan EQ dan SQ, yaitu Penggabungan antara pengendalian kecerdasan emosi dan spiritual. Definisi, Emosional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah Model Kemampuan seseorang untuk memberi Makna Spiritual terhadap Pemikiran, Prilaku/Akhlak dan Kegiatan, serta Mampu Menyinergikan IQ (Intelegent Quotient) yang terdiri dari IQ Logika/Berpikir dan IQ Financial / Kecerdasan memenuhi kebutuhan hidupnya/keuangan, EQ (Emosional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif.
Manfaat yang bisa di dapat adalah tercapainya keseimbangan antara hubungan Horizontal (manusia dengan manusia) dan Vertikal (manusia dan Tuhan).ESQ juga dapat membuat kita lebih percaya diri dalam melakukan suatu tindakan.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan.Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ).[3]
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ.Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan Sumber daya Manusia di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan ruhani (SQ).[4]

Hasil penelitian Daniel Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan pada zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak kita akan lebih mudah dalam meraih kesuksesan.
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1) Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemampuan seseorang dalam memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini menjadi akar istilah kecerdasan emosional.[5]
Charles Handy membagi kecerdasan manusia menjadi tujuh macam (1) Kecerdasan logika kecerdasan ini sangat terkait dengan kemampuan manusia dalam menalar dan menghitung (2) Kecerdasan verbal kemampuan manusia dalam menjalin hubungan dengan orang lain kemampuan menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi (3) Kecerdasan praktik kemampuan manusia dalam mempraktikan ide  yang ada dalam pikirannya (4) Kecerdasan dalam bidang musik  kemampuan untuk bisa merasakan nada dan irama yang bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama musik yang baik (5) Kecerdasan intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa memahami segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan interpersonal kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang  dalam memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain (7) Kecerdasan spasial kecerdasan manusia dalam menggali ruang atau dimensi, garis maupun warna.
Howard Gardner kecerdasan manusia terbagi menjadi delapan jenis diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1) Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Kecerdasan ini pada umumnya dapat dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua termasuk juga pendidikan formal di sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok yakni kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah hubungan sosial. Kecerdasan emosional ini  ditemukan oleh Daniel Goldman dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh sederetan factor yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional. (3) Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual terkait erat dengan kemampuan yang berujung pencerahan jiwa.[6]

Dalam konteks keIndonesian, UU Guru dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah menyampaikan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki kecerdasan sosial agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal yang penting ini. Apalagi bila kita menengok ke belakang, lebih tepatnya pada masa-masa kritis multidimensi yang telah melanda Indonesia pada 1997.Pada masa tersebut, betapa kita semua menyaksikan sebagian masyarakat Indonesia telah kehilangan kearifan-kearifan sosial yang agung. Misalnya, sikap untuk bisa bertoleransi kepada orang lain telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan berempati entah tinggal seberapa tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semangat untuk bisa menolong serta berbagi kepada sesama telah dikalahkan oleh sifat egois atau bahkan emosi yang tak terkedali.
Dewasa ini publik juga mulai menyadari bahwa kecerdasan sosial itu sangat penting agar seseorang bisa sukses dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa banyak orang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memiliki kecerdasan sosial yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama, mempunyai rasa empati, atau piawai dalam menjalin komunikasi.
Modern dimanjakan dengan aneka mainan yang serba instan dan bahkan tinggal klik di game online.Berbeda dengan anak-anak pada zaman dahulu. Ketika menginginkan mainan mobil –mobilan, misalnya, maka mereka membuatnya beramai-ramai dengan menggunakan batang pohon pisang, kulit jeruk bali, sabut kelapa, atau bahkan dari tangkai bunga tebu. Antara anak yang satu dengan yang lainnya sudah terbiasa saling membantu dalam sebuah kehidupan sosial.Disinilah kecerdasan sosial anak terasah dengan baik.
Ketika dunia permainan anak-anak pada era kini telah dibatasi dalam sebuah ruang yang dipenuhi dengan kecanggihan tekhnolgi, maka kecerdasan sosialnya tidak akan berkembang dengan baik. Lagi pula, arena bermain bagi anak, terutama di daerah perkotaan sudah mulai menyempit, atau bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali. Kenyataan bahwa kecerdasan sosial pada anak-anak yang pada umumnya tidak bisa dikembangkan secara optimal ini semakin perlu untuk mendapatkan perhatian ketika pendidikan di sekolah formal atau regular lebih menekankan pengembagan kecerdasan intelektual.
Melihat bahwa kecerdasan pada anak adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi pendidik untuk menunda.Saatnya sekarang untuk membimbing dan menemani tumbuh dan berkembangnya anak didik kita.
Banyak kalangan merasa prihatin ketika mendapati anak-anak pada zaman sekarang ini.
Masalah ini penting untuk diteliti lebih jauh sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang cara mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Martapura, agar kedepannya dapat dijadikan bahan pelajaran bagi kita semua terutama orangtua dan guru pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui para orang tua dan pendidik sangat berperan dalam mengambangkan keerdasan sosial anak untuk keberhasilan perkembangannya di masa akan datang. Disinilah penulis mencoba meneliti sebuah penelitian bagaimana seorang pendidik PAI dalam mendidik dan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak dengan judul.


[1] Chaterine Shanaz, Memori Super, (jogjakarta: PT Buku Kita, 2016), h, 98
[2]Ibid, h, 99
[3] Salsa az-Zahra, Membimbing Spritual anak, (jogjakarta: Darul Hikma, 2016), h, 47
[4] Akhma Muhaimi Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta:  Ar Ruzz Media, 2016), h, 23
[5] De Porte Bobbi & Hernacki Mike, Quantum Learning, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), h, 123
[6] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016),h, 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar