Selasa, 31 Oktober 2017

BAB 1 DAN 3 KECERDASAN SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hakikat semua hal yang ada di dunia ini memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaki sisi positif dan negative. Begitu pula dengan kemajuan tekhnologi. Awalnya, tekhnologi diciptakan untuk memudahkan aktifitas manusia. Akan tetapi, pada tataran lebih jauh, hasil ciptaan ini seperti senjata makan tuan. Keberadaan tekhnologi akhirnya menggerus identitas manusia sebagai makhluk sosial.
Seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi, perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap  bagaimana hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu dengan adanya orang lain. [1]
Keadaan seperti ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan. Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh dan  kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada anak misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua. [2]
Di samping hal tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah mempunyai aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga tak akan mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang anak yang disibukan dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les pelajaran ini dan itu, memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orang tua kebanyakan bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan sosial.[3]
Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut : 
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ   (رواه الترمذي)
    “Dari Syaddad Ibn Aus, darr Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati (H.R. At-Tirmidzi)”.[4]
Maka tidak sedikit dilingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi kecerdasan intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan bila diminta berkiprah di organisasi sosial, baik itu semacam karang taruna, remaja mesjid atau kelompok solidaritas lainnya. Inilah anak-anak yang cerdas secara intelektual, tetapi gagap dalam kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika telah menyelesaikan masa belajarnya, baik itu sekolah maupun di kampus, mau tidak mau, sudah tentu ia akan hidup dan berinteraksi dengan orang lain; baik itu di lingkungan tempat tinggalnya bekerja maupun di tengah-tengah masyarakat. Kecerdasan intelektual sangat penting untuk terus di kembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh diabaikan.
Intelligence Quotient (IQ)
IQ merupakan kependekan dari Intelligence Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektual, analitis (kemampuan menganalisa), logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, IQ berkaitan pada keterampilan berbicara, kesadaran akan sesuatu di sekelilingnya dan penguasaan matematika.[5]
Salah satu contoh sederhananya ialah apabila langit mendung, maka hari akan hujan.
Atau, papa mempercayai kita untuk meletakkan televisi di dalam kamar, namun ia melarang kita menonton televisi lewat dari jam 9 malam. Apa yang terjadi bila kita melanggarnya? Papa akan memarahi kita dan menarik fasilitas (televisi) tersebut.
Emotional Quotient (EQ)
EQ adalah kemampuan berkomunikasi seseorang dalam dua dimensi, yaitu arah ke dalam (personal) dan arah ke luar (interpersonal).
Personal ialah komunikasi yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri. Hal ini berguna untuk menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), penerimaan diri (self acceptance), menghargai diri sendiri (self respect), dan penguasaan diri (self mastery).[6]
Contohnya ketika kita mengharapkan papa membelikan handphone tetapi papa tidak mengabulkannya. Pada masalah ini EQ personal kita bermain, seberapa besar kesadaran diri tentang manfaat handphone terhadap kita.
Kemudian ketika kita menyadari bahwa manfaatnya sangat kecil, kita mulai menerima keputusan papa tersebut. Dengan menerima hal itu pula, kita tidak akan merasa sebagai orang yang menyedihkan meskipun teman-teman kita memiliki handphone.
Sementara interpersonal adalah kemampuan memahami, menerima, mempercayai, dan mempengaruhi orang lain. Salah satu contoh adalah ketika kamu meminta saran dari teman dekatmu, temanmu itu akan memberikan tanggapannya. Tanggapannya itulah yang perlu kamu pahami dan terima dengan baik.
Spiritual Quotient (SQ)
SQ adalah kemampuan seseorang untuk dapat memahami arti hidup. Hal ini menyangkut hubunganmu dengan Tuhan, Sobat Orbit.
Adversitas Quotient (AQ)
AQ adalah kemampuan seseorang saat menghadapi segala kesulitan. Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan menghadapi kesulitan tersebut, sebagian orang lainnya mudah takluk dan menyerah.
Emotional Spiritual Quotient (ESQ)
ESQ merupakan sebuah singkatan dari Emotional Spiritual Quotient yang merupakan gabungan EQ dan SQ, yaitu Penggabungan antara pengendalian kecerdasan emosi dan spiritual. Definisi, Emosional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah Model Kemampuan seseorang untuk memberi Makna Spiritual terhadap Pemikiran, Prilaku/Ahlak dan Kegiatan, serta Mampu Menyinergikan IQ (Intelegent Quotient) yang terdiri dari IQ Logika/Berpikir dan IQ Financial / Kecerdasan memenuhi kebutuhan hidupnya/keuangan, EQ (Emosional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif.[7]
Manfaat yang bisa di dapat adalah tercapai nya keseimabangan antara hubungan Horizontal (manusia dengan manusia) dan Vertikal (manusia dan Tuhan). ESQ juga dapat membuat kita lebih percaya diri dalam melakukan suatu tindakan.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga (SQ).[8]
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan Sumber daya Manusia di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minu­n/23:12-14 sebagai berikut:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  


menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S. al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan ruhani (SQ).[9]
Hasil penelitian Daniel Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan pada zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak kita akan lebih nudah dalam meraih kesuksesan.
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1) Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemempuan seseorang dalam memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini menjadi akar istilah kecerdasan emosional.[10]
Charles Handy membagi kecerdasan manusia menjadi tujuh macam (1) Kecerdasan logika kecerdasan ini sangat terkait dengan kemampuan manusia dalam menalar dan menghitung (2) Kecerdasan verbal kemampuan manusia dalam menjalin hubungan dengan orang lain kemampuan menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi (3) Kecerdasan praktik kemampuan manusia dalam mempraktikan ide  yang ada dalam pikirannya (4) Kecerdasan dalam bidang musik  kemampuan untuk bisa merasakan nada dan irama yang bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama musik yang baik (5) Kecerdasan intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa memahami segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan interpersonal kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang  dalam memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain (7) Kecerdasan spasial kecerdasan manusia dalam menggali ruang atau dimensi, garis maupun warna.[11]
Howard Gardner kecerdasan manusia terbagi menjadi delapan jenis diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1) Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Kecerdasan ini pada umumnya dapat dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua termasuk juga pendidikan formal di sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok yakni kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah hubungan sosial. Kecerdasan emosional ini  ditemukan oleh Daniel Goldman dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh sederetan factor yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional. (3) Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual terkait erat dengan kemampuan yang berujung pencerahan jiwa. [12]
Lawrence E. Shapiro, dalam bukunya yang berjudul How to Raise a Child with a High EQ, menyampaikan bahwa setidaknya ada lima keterampilan social yang bisa dilatih pada anak agar mempunyai kecerdasan sosial yang baik.
Mengembangkan kecerdasan anak adalah tanggungjawab kedua orangtuanya. Bagi orang tua yang menerapkan pendidikan bagi anak-anaknya dalam home schooling, maka tanggung jawab ini dapat diterapkan secara sepenuhnya. Namun, bagi orang tua yang tidak bisa memberikan pendidikan anak-anaknya secara penuh, maka pelaksanaannya didelegasikan kepada sekolah formal atau reuler.
Ketika anak-anak berada di sekolah formal atau reguler, maka pelaksanaan tanggung jawab pendidikan anak-anak kita berada di tangan guru dan pengelola sekolah. Akan tetapi, bila anak-anak berada di rumah, maka kedua orangtua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan anak-anaknya. Peran orang tua disini adalah kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya. Namun, bila ditinjau bahwa seorang ibu mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan anak-anaknya, maka peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat penting sekali. Itulah kenapa kita sering mendengar istilah ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.[13]
Kedekatan seorang ibu dengan anaknya dimulai semenjak ibu mengandung anaknya. Selama dalam kandungan, seorang anak mempunyai hubungan fisiologis maupun psikologis yang tidak dapat dipisahkan dengan ibunya. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa keadaan psikis mental seorang ibu sangat berhubungan dengan anaknya. Ketika seorang ibu merasa bahagia, rileks, dapat menjalin hubungan komunikasi yang nyaman dengan suaminya (ayah sang bayi), makan terlihat pula sikap dan kondisi psikis anak menjadi serupa dengan ibunya yakni anak tampak ceria, nyaman dan mampu mengeksplorasi dengan baik hal-hal yang ada di sekelilingnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ketika seorang ibu setres, cemas, takut, tidak mampu berfikir jernih, mengalami emosi yang tidak stabil, maka anakpun akan memperlihatkan sikap yang tidak menyenangkan, seperti rewel, melawan, tampak mengalami ketakutan yang berlebihan dan sikap-sikap yang lain yang jika dibiarkan akan berakibat buruk bagi tumbuh dan berkembangnya anak kita. Disinilah sesungguhnya peran ibu sangat penting bagi pendidikan anak-anaknya. Bila sudah demikian bukan berarti peran seorang ayah tidak penting. Namun harus diakui juga bahwa kedekatan seorang kepada anaknya biasanya berkurang karena terjadi dua faktor eksklusif (tidak mengandung dan menyusui anaknya), juga karena secara waktu pun biasanya seorang ayah ternyata masih kalah dengan ibunya yang lebih banyak dekat dengan anak-anaknya.
Menyadari betapa besar peran seorang ibu sebagai pendidik utama dan pertama, maka seorang ibu yang ingin anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang  dengan baik termasuk dalam hal ini adalah mengembangkan berbagai kecerdasan yang sudah dimiliki sang anak, meskinya mempersiapkan diri dengan banyak bekal pengetahuan yang berkaitan dengan mendidik anak-anaknya semenjak usia dini. Hal ini juga harus didukung oleh suaminya sebagai mitra sejajar dalam berumah tangga.
Bekal pengetahuan agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang dimiliki seorang ibu dapat diterapkan dalam hangatnya pengasuhan dan kelembutan bersikap. Disebabkan mengembangkan kecerdasan anak, terutama kecerdasan emosional, sosial dan spiritual sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa cinta, atensi, dan apresiasi. Oleh sebab itu, dalam konteks inilah aktivitas pengasuh menjadi sangat penting. Sementara pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Disebabkan ibulah sosok yang paling dikenal oleh anak. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, sungguh akan sangat berkesan bagi anak-anaknya sehingga bisa mengubah anak-anaknya untuk terus berkembang menjadi lebih baik.
Melalui pendampingan yang terus menerus dan beberapa latihan yang ada di artikel sederhana ini, semoga kita dapat mengembangkan kecerdasan sosial anak-anak kita. Sebuah kecerdasan yang membuat anak-anak kita bisa menjalin banyak hubungan secara baik dalam kondisi bagaimana pun dalam berinteraksi sosial; baik itu disekolah, dengan teman-teman bermainnya, atau kelak ketika besar, maka kecerdasan sosialnya akan berguna di tempat kerja, ketika berhubungan dengan relasi bisnis maupun dalam pergaulan lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dalam sebuah hubungan sosial. 
Eksistensi manusia sebagai makhluk social dituntut untuk bias menjalin interaksi dengan sesame. Menjalin hubungan dengan sesame ini bahkan diakui oleh banyak ahli dibidang psikologi sebagai kebutuhan yang semestinya dapat dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan dalam kejiwaannya. Hal ini juga diakui oleh Daniel Golamen, dalam sebuah bukunya yang berjudul Social Intelegenci.
Dalam konteks keIndonesian, UU Guru dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah menyampaikan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki kecerdasan social agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal yang penting ini. Apalagi bila kita menengok ke belakang, lebih tepatnya pada masa-masa kritis multidimensi yang telah melanda Indonesia pada 1997. Pada masa tersebut, betapa kita semua menyaksikan sebagian masyarakat Indonesia telah kehilangan kearifan-kearifan social yang agung. Misalnya, sikap untuk bias bertoleransi kepada orang lain telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan berempati entah tinggal seberapa tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semangat untuk bias menolong serta berbagi kepada sesame telah dikalahkan oleh sifat egois atau bahkan emosi yang tak terkedali.
Dewasa ini public juga mulai menyadari bahwa kecerdasan social itu sangat penting agar seseorang bisa sukses dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa banyak orang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memiliki kecerdasan social yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama, mempunya rasa empati, atai piawai dalam menjalin komunikasi.
Modern dimanjakan dengan aneka mainan yang serba instan dan bahkan tinggal klik di game online. Berbeda dengan anak-anak pada zaman dahulu. Ketika menginginkan mainan mobil –mobilan, misalnya, maka mereka membuatnya beramai-ramai dengan menggunakan batang pohon pisang, kulit jeruk bali, sabut kelapa, atau bahkan dari tangkai bunga tebu. Antara anak yang satu dengan yang lainnya sudah terbiasa saling membantu dalam sebuah kehidupan social. Disinilah kecerdasan social anak terasah dengan baik.
Ketika dunia permainan anak-anak pada era kini telah dibatasi dalam sebuah ruang yang dipenuhi dengan kecanggihan tekhnolgi, maka kecerdasan socialnya tidak akan berkembang dengan baik. Lagi pula, arena bermain bagi anak, terutama di daerah perkotaan sudah mulai menyempit, atau bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali. Kenyataan bahwa kecerdasan social pada anak-anak yang pada umumnya tidak bias dikembangkan secara optimal ini semakin perlu untuk mendapatkan perhatian ketika pendidikan di sekolah formal atau regular lebih menekankan pengembagan kecerdasan intelektual.
Melihat bahwa kecerdasan pada anak adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi pendidik untuk menunda. Saatnya sekarang untuk membimbing dan menemani tumbuh dan berkembangnya anak didik kita.
Banyak kalangan merasa prihatin ketika mendapati anak-anak pada zaman
Masalah ini penting untuk diteliti lebih jauh sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang cara mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Martapura, agar kedepannya dapat dijadikan bahan pelajaran bagi kita semua terutama orangtua dan guru pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui para orang tua dan pendidik sangat berperan dalam mengambangkan keerdasan sosial anak untuk keberhasilan perkembangannya di masa akan datang. Disinilah penulis mencoba meneliti sebuah penelitian bagaimana seorang pendidik PAI dalam mendidik dan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak dengan judul. “ Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah dasar Negeri Jawa 2 Martapura Kabupataen Banjar”.

B.     Penegasan Judul
Untuk menghindari terjadinya salah penafsiran terhadap judul skripsi ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang ada di dalam judul tersebut, yaitu:
  1. Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk secara efektif menavigasi dan bernegosiasi dalam interaksi dan lingkungan sosial. Menurut ilmuwan data Ross Honeywill, kecerdasan sosial adalah gabungan dari kesadaran diri dan kesadaran sosial, evolusi keyakinan sosial dan sikap, serta kapasitas dan kemampuan mengelola perubahan sosial yang kompleks. Psikolog Nicholas Humphrey percaya bahwa kecerdasan sosial, bukan kecerdasan kuantitatif, yang mendefinisikan manusia.[14]
Definisi pertama kecerdasan sosial oleh Edward Thorndike pada tahun1920 adalah "kemampuan untuk memahami dan mengelola laki-laki dan perempuan dan anak perempuan, untuk bertindak bijaksana dalam hubungan manusia”. Hal ini setara dengan kecerdasan interpersonal, salah satu jenis kecerdasan yang diidentifikasi dalam teori kecerdasan majemuk Howard Gardner, dan terkait erat dengan teori pikiran Menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang untuk memahami lingkungannya secara optimal dan bereaksi dengan tepat untuk sukses secara social.
  1. Anak
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa.
Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar.
Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah .
Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".[15]
  1. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh dikatakan bahwa setiap orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga Pendidikan Agama Islam ( PAI ). Masyarakat awam mempersepsikan pendidikan itu identik dengan sekolah , pemberian pelajaran, melatih anak dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya memiliki persepsi bahwa pendidikan itu menyangkut berbagai aspek yang sangat luas,termasuk semua pengalaman yang diperoleh anak dalam pembetukan dan pematangan pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.
Pendidikan sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan konferensi internasional pertama tentang pendidikan Muslim ( 1977 ) , seperti yang dikemukakan oleh Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum berhasil menyusun suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para ahli pendidikan secara bulat .
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara" .
Sedangkan definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI adalah : "Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman."
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam ( knowing ), terampil melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam ( doing ), dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari ( being ).
Tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan itu. Demikian pula halnya dengan Pendidikan Agama Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Tujuan pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan, kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan memudahkan evaluasi suatu aktivitas sebab tujuan pendidikan itu adalah identik dengan tujuan hidup manusia.
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul di atas adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh Pendidik PAI untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mendidik, mengasuh dan membimbing anak didiknya yang berada di Kelas III SDN Jawa 2 Martapura Kabupaten Banjar agar menjadi anak yang mempunyai kepribadian berkualitas, meliputi pendidikan dari segi fisik/motorik, pendidikan dari segi psikis, dan pendidikan dari segi agama. Dalam hal ini akan dibahas atau memuat konsep-konsep pendidikan secara umum, namun lebih menitik beratkan pada konsep pendidikan Islam.

C.     Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.       bagaimana Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak khususnya para pendidik yang berada di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Martapura Kabupaten Banjar.
2.      Strategi apa yang digunakan Oleh seorang pendidik PAI Dalam mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi anak Didiknya Yang berada dikelas III SDN jawa 2 Martapura Kabupaten Banjar?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi cara pendidik PAI dalam mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Didiknya yang berada Dikelas III SDN Jawa 2 Martapura Kabupatan Banjar.

D.    Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang mendasari penulisan pemilihan judul penelitian ini, yaitu :
  1. Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan mendiami sebuah planet yang bernama bumi ini, sudah tentu ada maksud  dan tujuannya. Tidak diciptakan begitu saja, kemudian menjalani kehidupan dibumi ini, setelah itu mati dan selesai. Bila memang hanya hidup, setelah itu mati dan selesai, tentu manusia tidak tidak berbeda dengan dengan makhluk yang lainnya sebagaimana hewan misalnya. Bila ditinjau dari segi Ajaran Agama Islam, setidak ada dua tujuan manusia diciptakan di dunia ini, yakni sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sedangkan sebagai khalifah, manusi berperan  sebagai wakil Tuhan untuk bias mengelola kehidupan dibumi ini dengan baik. Termasuk salah satu peran manusia sebagai khalifah dibumi adalah mengembangkan potensi kecerdasan yang telah diberikan Tuhan agar dapat dikembangkan dengan baik; ini perlu digaris bawahi. Sebab tidak jarang manusia mengebangkan segala potensi yang diberikan Tuhan kepadanya, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak baik. Akibatnya kerusakan Alam terjadi diberbagai tempat. Disinilah sesungguhnya perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anak kita. Disinilah dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi orangtua dan pendidik untuk bias memberikan asuhan dan pendidikan yang terbaik bagi anak. Dengan demikian, hakikat diciptakannya manusia oleh Tuhan dimuka bumi ini adalah dapat tumbuh dan berkembang  dengan baik sehingga dapat mengelola kehidupan ini dengan prestasi yang baik menuju kemakmuran dan kebahagiaan yang sesungguhnya.[16] 
  2. Pendidikan pada anak ini sangat berpengaruh dalam perkembangan anak pada fase selanjutnya, baik buruknya perkembangan serta kepribadian anak tergantung pada fase ini.
  3. Penulis merasa bertanggung jawab untuk menuangkan kekhawatirannya dalam bentuk skripsi, karena melihat kenyataa tidak sedikit para pendidik yang tidak mengerti bagaimana cara mengembangkan kecerdasan social bagi dengan cara yang anak yang baik dan benar.

E.     Tujuan Penelitian
1.      untuk mengetahui peranan Pendidikan dalam Mengembangkan Kecerdasan Sosial bagi Anak di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupataen Banjar.
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peran pendidik PAI dalam mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Didiknya yang berada di Kelas III SDN Jawan 2 Martapuran Kabupaten Banjar.

F.     Signifikansi Penilitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat berguna:
1.      Bahan informasi kepada orangtua dan pendidik sebagai guru pertama pada anak dan guru kedua setelah orangtua.
2.      Sebagai bahan informasi ilmiah bagi masyarakat yag ingin memberikan pendidikan bagaimana cara mengembangkan kecerdasan sosial pada anak.
3.      Sebagai bahan kajian ilmiah dalam disiplin ilmu ketarbiyahan, khususnya dalam bidang pendidikan Agama Islam (PAI).
4.      Sebagai bahan literatur untuk menambah khazanah pengembangan keilmuan perpustakaan.

G.    Sistematika Penulisan 
Dalam rangka mempermudah / memahami pembahasan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut : 
Bab I pendahuluan, meliputi : latar belakang masalah dan penegasan judul, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tinjauan teoritis, meliputi : Memahami Potensi Anak, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Anak, Manfaat Kecredasan Sosial dan Peran Orangtua Serta pendidik.
Bab III Metodologi Penelitian meliputi subjek dan objek, data, sumber data, tekhnik pengumpulan data dan analisis data.
Bab IV laporan hasil penelitian, meliputi gambaran lokasi penelitian, penyajian data dan analisis data.
Bab V berisi Penutup, meliputi : kesimpulan dan saran, kemudian dilengkapai dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran.
BAB III
METODE PENELITIAN

A.       Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan karena meneliti fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan sekarang yang dipermasalahkan.
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif mengunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu layar yang berkonteks khusus.
Pada penelitian kualitatif ini, kehadiran peneliti mutlak diperlukan. Hal ini dikarenakan instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri.  mengemukakan sebagai berikut: kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis penafsiran data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya
Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif, dimana peneliti menelaah sacara langsung di lapangan mengenai pelaksanaan Pembelajaran dalam program pelaksanaan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.

B.     Subjek dan Objek Penelitian
1.      Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah satu orang guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2.      Objek penelitian
Adapun yang mnejadi objek dalam penelitian ini penerapan pentingnnya mengembangkan kecerdasan social bagi anak pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam kepada peserta didik di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.

A.    Data, Sumber Data, dan Tekhnik Pengumpulan Data
1.      Data
Data yang digali dalam penelitian ini meliputi data primer (data pokok) dan data sekunder (penunjang).
a.       Data Pokok
1)      Cara Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak yang diberikan guru PAI kepada anak didiknya:
a)      Keterampilan Berkomunikasi
b)      Keterampilan membuat humor
c)      Keterampilan Menjalin Persahabatan
d)     Keterampilan Berperan dalam Kelompok
e)      Keterampilan Bersopan Santun dalam Pergaulan

2)      Faktor-faktor yang mempengaruhi guru PAI dalam mendidik dan menerapkan Kecerdasan social bagi anak melalui pendidikan Agama Islam.
a)      Latar belakang pendidikan
b)      Lingkungan
c)      Waktu yang tersedia
d)     Peserta didik
b.      Data penunjang
Data yang berkenaan dengan lokasi atau objek penelitian, berupa gambaran lokasi penelitian yang meliputi:
1)      Letak geografis Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2)  Keadaan masyarakat yang meliputi:
a)      Keadaan sosial
b)      Keadaan keagamaan
c)      Keadaan kebudayaan dan seni
d)     Keadaan perekonomian
e)      Keadaan pendidikan.

1.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat diberikan menjadi :
a.       Responden satu orang Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.
            b.   Informan, terdiri atas :
                  1)   Kepala sekolah SDN Jawa 2 Kabupaten Banjar. 
                  2)   Dewan guru dan tata usaha SDN Jawa 2 Kabupaten Banjar.
                  3) Siswa SDN Jawa 2 Kabupaten Banjar.
      3.   Teknik Pengumpulan Data
                        Untuk mengumpulkan data diatas digunakan beberapa teknik, yaitu:
            a.   Wawancara
                  Teknik ini dilakukan dengan model tanya jawab langsung terhadap responden dan informan berdasarkan pedoman wawancara.
            b.   Observasi
                  Adapun data yang digali dengan teknik ini adalah keadaan sekolah, alat dan sarana serta prasarana
              c. Dokumenter
                        Teknik ini dilakukan terhadap kepala sekolah, staf tata usaha dan elemen pendukung lainnya, yang bisa digunakan untuk menggali data tentang riwayat hidup berdirinya sekolah, keadaan sekolah, keadaan kelas, siswa, guru dan dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan di teliti.
                              Untuk lebih jelasnya mengenai data, sumber data dan teknik pengumpulan data yang digunakan, dapat dilihat pada matriks berikut ini :
MATRIKS
DATA, SUMBER DATA DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

   No
Data
Sumber Data
TPD
1.


























a.       Data Pokok
1.      Cara Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak yang diberikan guru PAI kepada anak didiknya:
a)      Keterampilan Berkomunikasi
b)      Keterampilan membuat humor
c)      Keterampilan Menjalin Persahabatan
d)     Keterampilan Berperan dalam Kelompok
e)      Keterampilan Bersopan Santun dalam Pergaulan
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi guru PAI dalam mendidik dan menerapkan Kecerdasan social bagi anak melalui pendidikan Agama Islam.
a.       Latar belakang pendidikan
b.      Lingkungan
c.       Waktu yang tersedia
d.      Peserta didik
b.      Data penunjang
Data yang berkenaan dengan lokasi atau objek penelitian, berupa gambaran lokasi penelitian yang meliputi:
1.      Letak geografis Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2.      Keadaan masyarakat yang meliputi:
a)      Keadaan social
b)      Keadaan keagamaan
c)      Keadaan kebudayaan dan seni
d)     Keadaan perekonomian
e)      Keadaan pendidikan.




Guru
Guru
Guru


Guru

Guru







Kepala Sekolah, guru






Kepala Sekolah, guru, siswa




Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi









Wawancara
Observasi
Observasi






Wawancara, Observasi


C. Kerangka Dasar Penelitian
                  Dalam penelitian ini kerangka dasar penelitiannya berisi mengenai cara Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Pada Mata Pelajaran pendidikan Agama Islam di SDN Jawa 2  Kabupaten Banjar, yang dilambangkan dengan huruf “Y”, selanjutnya di dalam penelitian ini juga akan menggambarkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perihal tersebut. Faktor-faktor ini disebut variabel bebas ( independent variable) yang dilambangkan dengan huruf “X” dan terdiri dari X1-X4 . Untuk lebih jelasnya penulis gambarkan dalam bentuk skema berikut ini :
      Variabel Bebas                                          Variabel Terikat
      X1
      X2                                                                         Y
      X3
      X4
Keterangan :
      Y     : cara mengembangkan kecerdasan social bagi anak oleh Guru PAI terhadap peserta didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
      X      : Faktor-faktor yang mempengaruhi Cara mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak oleh Guru PAI terhadap peserta didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
      X1      : Faktor Guru
      X2      : Faktor siswa
      X3       : Faktor waktu
      X4       : Faktor sarana dan prasarana

D. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
      1.   Teknik Pengolahan Data
                  Dalam pengolahan data digunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:
            a.   Editing
                              Yaitu melihat kembali data-data yang telah terkumpul untuk mengetahui apakah semua jawaban sudah terisi lengkap dan sudah bisa untuk dipahami.
            b.   Klasifikasi
                  Penulis mengklasifikasikan data-data hasil jawaban respon menurut macamnya tiap-tiap data yang diperoleh, supaya mudah dipelajari dan dapat diarahkan kepada pokok permasalahan.
            c. Interpretasi
                  penulis mentafsirkan data-data yang diperoleh dilapangan dan kemudian penulis sampaikan dalam bentuk paparan sebagai gambaran. 
      2.   Analisa Data
                        Setelah data disajikan dan interpretasikan, kemudian di analisa. Analisa data dilakukan dalam rangka menentukan bagaimana penerapan metode humanistik oleh guru Pendidikan Agama Islam terhadap anak didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, untuk ini dilakukan analisa deskriptif kualitatif, sedangkan dalam mengambil kesimpulan penulis menggunakan metode induktif, yaitu mengambil kesimpulan secara umum berdasarkan data-data khusus yang ada di lapangan.
E. Prosedur Penelitian
                  Dalam melakukan penelitian ada beberapa prosedur dan tahapan yang penulis lalui, yaitu :
      1.   Tahap pendahuluan :
            a.   Penjajakan ke lokasi yang diteliti
            b.   Konsultasi dengan dosen pembimbing
            c.   Mengajukan desain proposal penelitian.
      2.   Tahap persiapan
a.       Seminar proposal
b.      Revisi hasil seminar dengan petunjuk dosen pembimbing yang telah ditentukan.
c.       Memohon surat izin riset dari ketua STAI Darussalam Martapura.
d.      Menyiapkan daftar wawancara dan observasi.
      3.   Tahap pelaksanaan
            a.   Praktek ke lapangan dengan melakukan wawancara dan observasi   untuk mencari data.
            b.   Mengumpulkan data.
            c.   Mengelola data.
      4.   Tahap penyusunan laporan
                        Pada tahap ini dilakukan penyusunan laporan hasil penelitian berdasarkan sistematika yang telah di tentukan, kemudian diserahkan kepada pembimbing untuk dikoreksi dan disetujui. Setelah itu diperbanyak dan selanjutnya siap untuk diujikan dan dipertahankan.



[1] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), h, 67
[2] Ibid, h, 69
[3] Isna Ainullah Nur, pedoman menerapkan pendidikan di sekolah, (laksana:Yogyakarta, 2012), 132
[4] Imam Ibnu Kasir, Perencanaan Tafsir Jili B, (Bina Ilmu: Surabaya, 1999), h, 37
[5] Chaterine Shanaz, Memori Super, (jogjakarta: PT Buku Kita, 2016), h, 98
[6] Ibid, h, 99
[7] Ibid, 101
[8] Salsa az-Zahra, Membimbing Spritual anak, (jogjakarta: Darul Hikma, 2016), h, 47
[9] Akhma Muhaimi Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta:  Ar Ruzz Media, 2016), h, 23
[10] De Porte Bobbi & Hernacki Mike, Quantum Learning, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), h, 123
[11] N. Yustisia, 75 Rahasia Anak Cerdas, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h, 53
[12] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016),h, 27
[13] Ibid, h, 26
[14] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak, (Jogjakarta:Ar-Ruzz media, 2016), h, 13

[15] Muh Nur, Psikologi Pembelajaran Anak Usia Dini,( Surakrta: CV Narotama Kreasindo, 2016), h, 27
[16] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2016), h, 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar