BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hakikat semua hal yang ada di dunia
ini memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaki sisi positif dan negative.
Begitu pula dengan kemajuan tekhnologi. Awalnya, tekhnologi diciptakan untuk
memudahkan aktifitas manusia. Akan tetapi, pada tataran lebih jauh, hasil
ciptaan ini seperti senjata makan tuan. Keberadaan tekhnologi akhirnya
menggerus identitas manusia sebagai makhluk sosial.
Seiring dengan
perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi,
perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu
diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak
sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk
ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila
ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap bagaimana
hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap
sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu
dengan adanya orang lain. [1]
Keadaan seperti
ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga
peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu
lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan
kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan.
Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh
dan kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua
mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada
anak misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah
atau bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua. [2]
Di samping hal
tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan
kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini
bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah mempunyai
aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga tak akan mempunyai
waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang anak yang disibukan
dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les pelajaran ini dan itu,
memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orang tua kebanyakan
bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai
disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan
sosial.[3]
Mendefinisikan
kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut
:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ (رواه الترمذي)
“Dari Syaddad Ibn Aus, darr
Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan
dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati (H.R. At-Tirmidzi)”.[4]
Maka
tidak sedikit dilingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi
kecerdasan intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai
kemampuan bila diminta berkiprah di organisasi sosial, baik itu semacam karang
taruna, remaja mesjid atau kelompok solidaritas lainnya. Inilah anak-anak yang
cerdas secara intelektual, tetapi gagap dalam
kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika telah menyelesaikan masa belajarnya,
baik itu sekolah maupun di kampus, mau tidak mau, sudah tentu ia akan hidup dan
berinteraksi dengan orang lain; baik itu di lingkungan tempat tinggalnya
bekerja maupun di tengah-tengah masyarakat. Kecerdasan intelektual sangat
penting untuk terus di kembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya
adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak
boleh diabaikan.
Intelligence
Quotient (IQ)
IQ
merupakan kependekan dari Intelligence Quotient yang artinya ukuran kemampuan
intelektual, analitis (kemampuan menganalisa), logika dan rasio seseorang.
Dengan demikian, IQ berkaitan pada keterampilan berbicara, kesadaran akan
sesuatu di sekelilingnya dan penguasaan matematika.[5]
Salah satu
contoh sederhananya ialah apabila langit mendung, maka hari akan hujan.
Atau, papa
mempercayai kita untuk meletakkan televisi di dalam kamar, namun ia melarang
kita menonton televisi lewat dari jam 9 malam. Apa yang terjadi bila kita
melanggarnya? Papa akan memarahi kita dan menarik fasilitas (televisi)
tersebut.
Emotional Quotient (EQ)
EQ adalah
kemampuan berkomunikasi seseorang dalam dua dimensi, yaitu arah ke dalam
(personal) dan arah ke luar (interpersonal).
Personal
ialah komunikasi yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri. Hal ini berguna
untuk menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), penerimaan diri (self
acceptance), menghargai diri sendiri (self respect), dan penguasaan
diri (self mastery).[6]
Contohnya
ketika kita mengharapkan papa membelikan handphone tetapi papa tidak
mengabulkannya. Pada masalah ini EQ personal kita bermain, seberapa besar
kesadaran diri tentang manfaat handphone terhadap kita.
Kemudian
ketika kita menyadari bahwa manfaatnya sangat kecil, kita mulai menerima
keputusan papa tersebut. Dengan menerima hal itu pula, kita tidak akan merasa
sebagai orang yang menyedihkan meskipun teman-teman kita memiliki handphone.
Sementara
interpersonal adalah kemampuan memahami, menerima, mempercayai, dan
mempengaruhi orang lain. Salah satu contoh adalah ketika kamu meminta saran
dari teman dekatmu, temanmu itu akan memberikan tanggapannya. Tanggapannya
itulah yang perlu kamu pahami dan terima dengan baik.
Spiritual Quotient (SQ)
SQ adalah
kemampuan seseorang untuk dapat memahami arti hidup. Hal ini menyangkut
hubunganmu dengan Tuhan, Sobat Orbit.
Adversitas Quotient (AQ)
AQ adalah
kemampuan seseorang saat menghadapi segala kesulitan. Beberapa orang mencoba
untuk tetap bertahan menghadapi kesulitan tersebut, sebagian orang lainnya
mudah takluk dan menyerah.
Emotional Spiritual Quotient (ESQ)
ESQ
merupakan sebuah singkatan dari Emotional Spiritual Quotient yang merupakan
gabungan EQ dan SQ, yaitu Penggabungan antara pengendalian kecerdasan emosi dan
spiritual. Definisi, Emosional Spiritual Quotient (ESQ) Model adalah Model
Kemampuan seseorang untuk memberi Makna Spiritual terhadap Pemikiran,
Prilaku/Ahlak dan Kegiatan, serta Mampu Menyinergikan IQ (Intelegent
Quotient) yang terdiri dari IQ Logika/Berpikir dan IQ Financial /
Kecerdasan memenuhi kebutuhan hidupnya/keuangan, EQ (Emosional Quotient)
dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif.[7]
Manfaat
yang bisa di dapat adalah tercapai nya keseimabangan antara hubungan Horizontal
(manusia dengan manusia) dan Vertikal (manusia dan Tuhan). ESQ juga dapat
membuat kita lebih percaya diri dalam melakukan suatu tindakan.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali
ditemukan pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ
pas-pasan meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak
berdiri sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi
intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga
(SQ).[8]
SQ sulit sekali diperoleh tanpa
kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan
ini biasanya disebut multiple intelligences yang bertujuan untuk
melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk penyiapan Sumber daya
Manusia di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dapat
ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk
kecerdasan ini tidak dijelaskan secara terperinci. Namun, masih perlu dikaji
lebih mendalam beberapa kata kunci yang berhubungan dengan ketiga pusat
kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga substansi manusia, yaitu unsur jasad
yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang membutuhkan EQ, dan unsur roh yang
membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an Substansi
manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur
nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam
beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minun/23:12-14 sebagai berikut:
ô‰s)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß™ `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR ’Îû 9‘#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜ‘Z9$# Zps)n=tæ $uZø)n=y‚sù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=y‚sù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u‘$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ
menciptakan seorang manusia dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini
selesai maka para makhluk lain termasuk para malaikat dan jin bersujud
kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini
pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan
di bumi (Q.S. al-An‘am/6:165) di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi
satu-satunya makhluk eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun
naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan
taqwim/Q.S. al-Tin/95:4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling
rendah" (asfala safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah
daripada binatang (Q.S. al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat
dicapai manakala ia mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang
dimilikinya, yaitu kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan
kecerdasan ruhani (SQ).[9]
Hasil penelitian Daniel
Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% terhadap
kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan
emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam
keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi
sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian?
Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak
teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial,
dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi
orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh
anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan pada
zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak kita akan lebih
nudah dalam meraih kesuksesan.
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1)
Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami
simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemempuan seseorang
dalam memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang
dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini
menjadi akar istilah kecerdasan emosional.[10]
Charles Handy membagi kecerdasan manusia menjadi tujuh macam (1)
Kecerdasan logika kecerdasan ini sangat terkait dengan kemampuan manusia dalam
menalar dan menghitung (2) Kecerdasan verbal kemampuan manusia dalam menjalin
hubungan dengan orang lain kemampuan menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi
(3) Kecerdasan praktik kemampuan manusia dalam mempraktikan ide yang ada
dalam pikirannya (4) Kecerdasan dalam bidang musik kemampuan untuk bisa
merasakan nada dan irama yang bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama
musik yang baik (5) Kecerdasan intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa
memahami segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan
interpersonal kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam
memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain (7) Kecerdasan spasial
kecerdasan manusia dalam menggali ruang atau dimensi, garis maupun warna.[11]
Howard Gardner kecerdasan manusia terbagi menjadi delapan jenis
diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1) Intelligence Quotient (IQ)
atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari
sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir kecerdasan ini bisa diukur dari
sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Kecerdasan ini pada umumnya dapat
dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua termasuk juga pendidikan formal di
sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional
kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok yakni kesadaran diri,
manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah hubungan sosial.
Kecerdasan emosional ini ditemukan oleh Daniel Goldman dalam bukunya
Emotional Intelligence, Daniel
menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20%
dan sisanya 80% ditentukan oleh sederetan factor yang disebutnya sebagai
kecerdasan emosional. (3) Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan
spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal
diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik
sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual terkait erat
dengan kemampuan yang berujung pencerahan jiwa. [12]
Lawrence
E. Shapiro, dalam bukunya yang berjudul How to Raise a Child with a High EQ,
menyampaikan bahwa setidaknya ada lima keterampilan social yang bisa dilatih
pada anak agar mempunyai kecerdasan sosial yang baik.
Mengembangkan kecerdasan
anak adalah tanggungjawab kedua orangtuanya. Bagi orang tua yang menerapkan
pendidikan bagi anak-anaknya dalam home schooling, maka tanggung jawab ini
dapat diterapkan secara sepenuhnya. Namun, bagi orang tua yang tidak bisa
memberikan pendidikan anak-anaknya secara penuh, maka pelaksanaannya
didelegasikan kepada sekolah formal atau reuler.
Ketika anak-anak berada di sekolah formal atau reguler, maka pelaksanaan
tanggung jawab pendidikan anak-anak kita berada di tangan guru dan pengelola
sekolah. Akan tetapi, bila anak-anak berada di rumah, maka kedua orangtua
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan anak-anaknya. Peran orang tua
disini adalah kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya. Namun, bila ditinjau
bahwa seorang ibu mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan anak-anaknya, maka
peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat penting sekali. Itulah
kenapa kita sering mendengar istilah ibu sebagai sekolah pertama bagi
anak-anaknya.[13]
Kedekatan seorang ibu
dengan anaknya dimulai semenjak ibu mengandung anaknya. Selama dalam kandungan,
seorang anak mempunyai hubungan fisiologis maupun psikologis yang tidak dapat
dipisahkan dengan ibunya. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa keadaan psikis
mental seorang ibu sangat berhubungan dengan anaknya. Ketika seorang ibu merasa
bahagia, rileks, dapat menjalin hubungan komunikasi yang nyaman dengan suaminya
(ayah sang bayi), makan terlihat pula sikap dan kondisi psikis anak menjadi
serupa dengan ibunya yakni anak tampak ceria, nyaman dan mampu mengeksplorasi
dengan baik hal-hal yang ada di sekelilingnya. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, ketika seorang ibu setres, cemas, takut, tidak mampu berfikir
jernih, mengalami emosi yang tidak stabil, maka anakpun akan memperlihatkan
sikap yang tidak menyenangkan, seperti rewel, melawan, tampak mengalami
ketakutan yang berlebihan dan sikap-sikap yang lain yang jika dibiarkan akan
berakibat buruk bagi tumbuh dan berkembangnya anak kita. Disinilah sesungguhnya
peran ibu sangat penting bagi pendidikan anak-anaknya. Bila sudah demikian
bukan berarti peran seorang ayah tidak penting. Namun harus diakui juga bahwa
kedekatan seorang kepada anaknya biasanya berkurang karena terjadi dua faktor
eksklusif (tidak mengandung dan menyusui anaknya), juga karena secara waktu pun
biasanya seorang ayah ternyata masih kalah dengan ibunya yang lebih banyak
dekat dengan anak-anaknya.
Menyadari betapa besar
peran seorang ibu sebagai pendidik utama dan pertama, maka seorang ibu yang
ingin anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik termasuk dalam
hal ini adalah mengembangkan berbagai kecerdasan yang sudah dimiliki sang anak,
meskinya mempersiapkan diri dengan banyak bekal pengetahuan yang berkaitan
dengan mendidik anak-anaknya semenjak usia dini. Hal ini juga harus didukung oleh suaminya
sebagai mitra sejajar dalam berumah tangga.
Bekal
pengetahuan agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang
dimiliki seorang ibu dapat diterapkan dalam hangatnya pengasuhan dan kelembutan
bersikap. Disebabkan mengembangkan kecerdasan anak, terutama kecerdasan emosional,
sosial dan spiritual sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang
penuh rasa cinta, atensi, dan apresiasi. Oleh sebab itu, dalam konteks inilah
aktivitas pengasuh menjadi sangat penting. Sementara pengasuh terbaik bagi
seorang anak adalah ibunya. Disebabkan ibulah sosok yang paling dikenal oleh
anak. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, sungguh akan sangat berkesan
bagi anak-anaknya sehingga bisa mengubah anak-anaknya untuk terus berkembang
menjadi lebih baik.
Melalui
pendampingan yang terus menerus dan beberapa latihan yang ada di artikel
sederhana ini, semoga kita dapat mengembangkan kecerdasan sosial anak-anak
kita. Sebuah kecerdasan yang membuat anak-anak kita bisa menjalin banyak
hubungan secara baik dalam kondisi bagaimana pun dalam berinteraksi sosial;
baik itu disekolah, dengan teman-teman bermainnya, atau kelak ketika besar,
maka kecerdasan sosialnya akan berguna di tempat kerja, ketika berhubungan
dengan relasi bisnis maupun dalam pergaulan lingkungan masyarakat tempat
tinggalnya. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Antara manusia satu
dengan yang lainnya saling membutuhkan dalam sebuah hubungan sosial.
Eksistensi manusia sebagai makhluk social
dituntut untuk bias menjalin interaksi dengan sesame. Menjalin hubungan dengan
sesame ini bahkan diakui oleh banyak ahli dibidang psikologi sebagai kebutuhan
yang semestinya dapat dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami
banyak gangguan dalam kejiwaannya. Hal ini juga diakui oleh Daniel Golamen,
dalam sebuah bukunya yang berjudul Social Intelegenci.
Dalam konteks keIndonesian, UU Guru
dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah
menyampaikan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki
kecerdasan social agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal
yang penting ini. Apalagi bila kita menengok ke belakang, lebih tepatnya pada
masa-masa kritis multidimensi yang telah melanda Indonesia pada 1997. Pada masa
tersebut, betapa kita semua menyaksikan sebagian masyarakat Indonesia telah
kehilangan kearifan-kearifan social yang agung. Misalnya, sikap untuk bias
bertoleransi kepada orang lain telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan
berempati entah tinggal seberapa tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semangat
untuk bias menolong serta berbagi kepada sesame telah dikalahkan oleh sifat
egois atau bahkan emosi yang tak terkedali.
Dewasa ini public juga mulai
menyadari bahwa kecerdasan social itu sangat penting agar seseorang bisa sukses
dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah
lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa
banyak orang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memiliki
kecerdasan social yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama, mempunya
rasa empati, atai piawai dalam menjalin komunikasi.
Modern dimanjakan dengan aneka
mainan yang serba instan dan bahkan tinggal klik di game online. Berbeda dengan
anak-anak pada zaman dahulu. Ketika menginginkan mainan mobil –mobilan,
misalnya, maka mereka membuatnya beramai-ramai dengan menggunakan batang pohon
pisang, kulit jeruk bali, sabut kelapa, atau bahkan dari tangkai bunga tebu.
Antara anak yang satu dengan yang lainnya sudah terbiasa saling membantu dalam
sebuah kehidupan social. Disinilah kecerdasan social anak terasah dengan baik.
Ketika dunia permainan anak-anak
pada era kini telah dibatasi dalam sebuah ruang yang dipenuhi dengan
kecanggihan tekhnolgi, maka kecerdasan socialnya tidak akan berkembang dengan
baik. Lagi pula, arena bermain bagi anak, terutama di daerah perkotaan sudah
mulai menyempit, atau bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali.
Kenyataan bahwa kecerdasan social pada anak-anak yang pada umumnya tidak bias
dikembangkan secara optimal ini semakin perlu untuk mendapatkan perhatian
ketika pendidikan di sekolah formal atau regular lebih menekankan pengembagan
kecerdasan intelektual.
Melihat bahwa kecerdasan pada anak
adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan, maka sudah tidak ada alasan
lagi bagi pendidik untuk menunda. Saatnya sekarang untuk membimbing dan
menemani tumbuh dan berkembangnya anak didik kita.
Banyak kalangan merasa prihatin
ketika mendapati anak-anak pada zaman
Masalah ini penting untuk diteliti
lebih jauh sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang cara
mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2
Martapura, agar kedepannya dapat dijadikan bahan pelajaran bagi kita semua
terutama orangtua dan guru pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui para orang
tua dan pendidik sangat berperan dalam mengambangkan keerdasan sosial anak
untuk keberhasilan perkembangannya di masa akan datang. Disinilah penulis
mencoba meneliti sebuah penelitian bagaimana seorang pendidik PAI dalam
mendidik dan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak dengan judul. “
Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Melalui Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di Sekolah dasar Negeri Jawa 2 Martapura Kabupataen Banjar”.
B.
Penegasan
Judul
Untuk menghindari terjadinya salah
penafsiran terhadap judul skripsi ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah
yang ada di dalam judul tersebut, yaitu:
- Kecerdasan Sosial
Kecerdasan
sosial adalah kemampuan untuk secara efektif menavigasi dan bernegosiasi dalam interaksi dan lingkungan
sosial. Menurut ilmuwan
data Ross
Honeywill,
kecerdasan sosial adalah gabungan dari kesadaran diri dan kesadaran sosial,
evolusi keyakinan sosial dan sikap, serta kapasitas dan kemampuan mengelola
perubahan sosial yang kompleks. Psikolog Nicholas
Humphrey percaya
bahwa kecerdasan sosial, bukan kecerdasan kuantitatif, yang mendefinisikan
manusia.[14]
Definisi
pertama kecerdasan sosial oleh Edward
Thorndike pada
tahun1920 adalah "kemampuan untuk memahami dan mengelola laki-laki dan
perempuan dan anak perempuan, untuk bertindak bijaksana dalam hubungan manusia”.
Hal ini setara dengan kecerdasan interpersonal, salah satu jenis kecerdasan yang
diidentifikasi dalam teori kecerdasan
majemuk Howard Gardner, dan terkait erat dengan teori pikiran Menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan
seseorang untuk memahami lingkungannya secara optimal dan bereaksi dengan tepat
untuk sukses secara social.
- Anak
Anak
(jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata
"anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah
dewasa.
Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa
bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan
periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah
dasar.
Berdasarkan
UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat
(2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan
belas) tahun dan belum pernah menikah .
Walaupun begitu istilah ini juga
sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan
mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah
"anak".[15]
- Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh dikatakan bahwa setiap
orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga Pendidikan Agama Islam ( PAI ).
Masyarakat awam mempersepsikan pendidikan itu identik dengan sekolah ,
pemberian pelajaran, melatih anak dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya
memiliki persepsi bahwa pendidikan itu menyangkut berbagai aspek yang sangat
luas,termasuk semua pengalaman yang diperoleh anak dalam pembetukan dan
pematangan pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.
Pendidikan
sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan konferensi
internasional pertama tentang pendidikan Muslim ( 1977 ) , seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum berhasil menyusun
suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para ahli pendidikan
secara bulat .
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 1 menyebutkan bahwa :"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara" .
Sedangkan
definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI adalah : "Pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia,
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan
Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan
pengalaman."
Sedangkan
menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk
menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam ( knowing ), terampil
melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam ( doing ), dan mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari ( being ).
Tujuan
pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang
hendak dituju oleh pendidikan itu. Demikian pula halnya dengan Pendidikan Agama
Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau
moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Tujuan
pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan,
kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu
pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan
memudahkan evaluasi suatu aktivitas sebab tujuan pendidikan itu adalah identik
dengan tujuan hidup manusia.
Dengan demikian yang dimaksud dengan
judul di atas adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh Pendidik PAI untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mendidik, mengasuh dan membimbing
anak didiknya yang berada di Kelas III SDN Jawa 2 Martapura Kabupaten Banjar
agar menjadi anak yang mempunyai kepribadian berkualitas, meliputi pendidikan
dari segi fisik/motorik, pendidikan dari segi psikis, dan pendidikan dari segi
agama. Dalam hal ini akan dibahas atau memuat konsep-konsep pendidikan secara
umum, namun lebih menitik beratkan pada konsep pendidikan Islam.
C.
Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.
bagaimana Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi
Anak khususnya para pendidik yang berada di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Martapura
Kabupaten Banjar.
2.
Strategi
apa yang digunakan Oleh seorang pendidik PAI Dalam mengembangkan Kecerdasan
Sosial Bagi anak Didiknya Yang berada dikelas III SDN jawa 2 Martapura
Kabupaten Banjar?
3.
Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi cara pendidik PAI dalam mengembangkan Kecerdasan
Sosial Bagi Anak Didiknya yang berada Dikelas III SDN Jawa 2 Martapura
Kabupatan Banjar.
D.
Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang mendasari
penulisan pemilihan judul penelitian ini, yaitu :
- Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan mendiami sebuah planet yang bernama bumi ini, sudah tentu ada maksud dan tujuannya. Tidak diciptakan begitu saja, kemudian menjalani kehidupan dibumi ini, setelah itu mati dan selesai. Bila memang hanya hidup, setelah itu mati dan selesai, tentu manusia tidak tidak berbeda dengan dengan makhluk yang lainnya sebagaimana hewan misalnya. Bila ditinjau dari segi Ajaran Agama Islam, setidak ada dua tujuan manusia diciptakan di dunia ini, yakni sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sedangkan sebagai khalifah, manusi berperan sebagai wakil Tuhan untuk bias mengelola kehidupan dibumi ini dengan baik. Termasuk salah satu peran manusia sebagai khalifah dibumi adalah mengembangkan potensi kecerdasan yang telah diberikan Tuhan agar dapat dikembangkan dengan baik; ini perlu digaris bawahi. Sebab tidak jarang manusia mengebangkan segala potensi yang diberikan Tuhan kepadanya, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak baik. Akibatnya kerusakan Alam terjadi diberbagai tempat. Disinilah sesungguhnya perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anak kita. Disinilah dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi orangtua dan pendidik untuk bias memberikan asuhan dan pendidikan yang terbaik bagi anak. Dengan demikian, hakikat diciptakannya manusia oleh Tuhan dimuka bumi ini adalah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat mengelola kehidupan ini dengan prestasi yang baik menuju kemakmuran dan kebahagiaan yang sesungguhnya.[16]
- Pendidikan pada anak ini sangat berpengaruh dalam perkembangan anak pada fase selanjutnya, baik buruknya perkembangan serta kepribadian anak tergantung pada fase ini.
- Penulis merasa bertanggung jawab untuk menuangkan kekhawatirannya dalam bentuk skripsi, karena melihat kenyataa tidak sedikit para pendidik yang tidak mengerti bagaimana cara mengembangkan kecerdasan social bagi dengan cara yang anak yang baik dan benar.
E.
Tujuan Penelitian
1.
untuk
mengetahui peranan Pendidikan dalam Mengembangkan Kecerdasan Sosial bagi Anak
di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupataen Banjar.
2.
Untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peran pendidik PAI dalam
mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak Didiknya yang berada di Kelas III SDN
Jawan 2 Martapuran Kabupaten Banjar.
F.
Signifikansi Penilitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat
berguna:
1.
Bahan
informasi kepada orangtua dan pendidik sebagai guru pertama pada anak dan guru
kedua setelah orangtua.
2.
Sebagai
bahan informasi ilmiah bagi masyarakat yag ingin memberikan pendidikan bagaimana
cara mengembangkan kecerdasan sosial pada anak.
3.
Sebagai
bahan kajian ilmiah dalam disiplin ilmu ketarbiyahan, khususnya dalam bidang
pendidikan Agama Islam (PAI).
4.
Sebagai
bahan literatur untuk menambah khazanah pengembangan keilmuan perpustakaan.
G.
Sistematika Penulisan
Dalam rangka mempermudah / memahami pembahasan ini, maka penulis
membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I pendahuluan, meliputi : latar belakang masalah dan penegasan
judul, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, signifikansi
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tinjauan teoritis, meliputi : Memahami Potensi Anak,
Mengembangkan Kecerdasan Sosial Anak, Manfaat Kecredasan Sosial dan Peran
Orangtua Serta pendidik.
Bab III Metodologi Penelitian meliputi subjek dan objek, data,
sumber data, tekhnik pengumpulan data dan analisis data.
Bab IV laporan hasil penelitian, meliputi gambaran lokasi
penelitian, penyajian data dan analisis data.
Bab V berisi Penutup, meliputi : kesimpulan dan saran, kemudian
dilengkapai dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan karena meneliti
fenomena yang ada di lapangan atau masyarakat dan memusatkan perhatian pada
suatu kasus secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan
sekarang yang dipermasalahkan.
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian kualitatif mengunakan
pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman
tentang fenomena dalam suatu layar yang berkonteks khusus.
Pada penelitian kualitatif ini, kehadiran peneliti mutlak
diperlukan. Hal ini dikarenakan instrumen penelitian dalam penelitian
kualitatif adalah peneliti itu sendiri.
mengemukakan sebagai berikut: kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
cukup rumit, ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data,
analisis penafsiran data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil
penelitiannya
Jenis penelitian ini adalah penelitian Kualitatif, dimana peneliti menelaah sacara langsung di lapangan
mengenai pelaksanaan Pembelajaran
dalam program pelaksanaan mengembangkan kecerdasan sosial bagi anak di
Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
B.
Subjek
dan Objek Penelitian
1.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah satu orang guru Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2.
Objek
penelitian
Adapun yang mnejadi objek dalam penelitian ini penerapan pentingnnya
mengembangkan kecerdasan social bagi anak pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Islam kepada peserta didik di Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
A.
Data, Sumber Data, dan Tekhnik Pengumpulan Data
1.
Data
Data yang digali dalam penelitian ini meliputi data primer (data
pokok) dan data sekunder (penunjang).
a.
Data
Pokok
1)
Cara
Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak yang diberikan guru PAI kepada anak
didiknya:
a)
Keterampilan
Berkomunikasi
b)
Keterampilan
membuat humor
c)
Keterampilan Menjalin Persahabatan
d)
Keterampilan Berperan dalam Kelompok
e)
Keterampilan Bersopan
Santun dalam Pergaulan
2)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi guru PAI dalam mendidik dan menerapkan Kecerdasan social bagi
anak melalui pendidikan Agama Islam.
a)
Latar
belakang pendidikan
b)
Lingkungan
c)
Waktu
yang tersedia
d)
Peserta
didik
b.
Data
penunjang
Data yang berkenaan dengan lokasi atau objek penelitian, berupa
gambaran lokasi penelitian yang meliputi:
1)
Letak
geografis Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2)
Keadaan
masyarakat yang meliputi:
a)
Keadaan
sosial
b)
Keadaan
keagamaan
c)
Keadaan
kebudayaan dan seni
d)
Keadaan
perekonomian
e)
Keadaan
pendidikan.
1.
Sumber
Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat diberikan menjadi :
a.
Responden
satu orang Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.
b. Informan, terdiri atas :
1) Kepala sekolah SDN Jawa 2 Kabupaten
Banjar.
2) Dewan
guru dan tata usaha SDN Jawa 2 Kabupaten Banjar.
3)
Siswa SDN Jawa 2 Kabupaten Banjar.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mengumpulkan data diatas digunakan beberapa teknik, yaitu:
a.
Wawancara
Teknik ini dilakukan dengan
model tanya jawab langsung terhadap responden dan informan berdasarkan pedoman
wawancara.
b. Observasi
Adapun data yang digali dengan teknik ini
adalah keadaan sekolah, alat dan sarana serta prasarana
c.
Dokumenter
Teknik
ini dilakukan terhadap kepala sekolah, staf tata usaha dan elemen pendukung
lainnya, yang bisa digunakan untuk menggali data tentang riwayat hidup
berdirinya sekolah, keadaan sekolah, keadaan kelas, siswa, guru dan dokumen
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan di teliti.
Untuk lebih jelasnya mengenai data, sumber data dan teknik
pengumpulan data yang digunakan, dapat dilihat pada matriks berikut ini :
MATRIKS
DATA,
SUMBER DATA DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA
No
|
Data
|
Sumber Data
|
TPD
|
1.
|
a.
Data
Pokok
1.
Cara
Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak yang diberikan guru PAI kepada anak
didiknya:
a)
Keterampilan
Berkomunikasi
b)
Keterampilan
membuat humor
c)
Keterampilan Menjalin Persahabatan
d)
Keterampilan Berperan dalam Kelompok
e)
Keterampilan Bersopan Santun dalam Pergaulan
2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi guru PAI dalam mendidik dan menerapkan Kecerdasan social
bagi anak melalui pendidikan Agama Islam.
a.
Latar
belakang pendidikan
b.
Lingkungan
c.
Waktu
yang tersedia
d.
Peserta
didik
b.
Data
penunjang
Data
yang berkenaan dengan lokasi atau objek penelitian, berupa gambaran lokasi
penelitian yang meliputi:
1.
Letak
geografis Sekolah Dasar Negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
2.
Keadaan
masyarakat yang meliputi:
a)
Keadaan
social
b)
Keadaan
keagamaan
c)
Keadaan
kebudayaan dan seni
d)
Keadaan
perekonomian
e)
Keadaan
pendidikan.
|
Guru
Guru
Guru
Guru
Guru
Kepala Sekolah, guru
Kepala Sekolah, guru, siswa
|
Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi
Wawancara, Observasi
Wawancara
Observasi
Observasi
Wawancara, Observasi
|
C. Kerangka Dasar Penelitian
Dalam
penelitian ini kerangka dasar penelitiannya berisi mengenai cara Mengembangkan
Kecerdasan Sosial Bagi Anak Pada Mata Pelajaran pendidikan Agama Islam di SDN
Jawa 2 Kabupaten Banjar, yang
dilambangkan dengan huruf “Y”, selanjutnya di dalam penelitian ini juga akan
menggambarkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perihal tersebut. Faktor-faktor
ini disebut variabel bebas ( independent variable) yang dilambangkan
dengan huruf “X” dan terdiri dari X1-X4 . Untuk lebih
jelasnya penulis gambarkan dalam bentuk skema berikut ini :
Variabel Bebas Variabel
Terikat
X1
X2 Y
X3
X4
Keterangan :
Y : cara mengembangkan kecerdasan social bagi anak oleh Guru PAI
terhadap peserta didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar.
X :
Faktor-faktor yang mempengaruhi Cara mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak
oleh Guru PAI terhadap peserta didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten
Banjar.
X1 : Faktor Guru
X2 : Faktor siswa
X3 :
Faktor waktu
X4
: Faktor sarana dan prasarana
D. Teknik Pengolahan Data dan
Analisa Data
1. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data digunakan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing
Yaitu
melihat kembali data-data yang telah terkumpul untuk mengetahui apakah semua
jawaban sudah terisi lengkap dan sudah bisa untuk dipahami.
b. Klasifikasi
Penulis mengklasifikasikan
data-data hasil jawaban respon menurut macamnya tiap-tiap data yang diperoleh,
supaya mudah dipelajari dan dapat diarahkan kepada pokok permasalahan.
c. Interpretasi
penulis
mentafsirkan data-data yang diperoleh dilapangan dan kemudian penulis sampaikan
dalam bentuk paparan sebagai gambaran.
2. Analisa Data
Setelah data disajikan dan interpretasikan,
kemudian di analisa. Analisa data dilakukan dalam rangka menentukan bagaimana
penerapan metode humanistik oleh guru Pendidikan Agama Islam terhadap anak
didik pada sekolah dasar negeri Jawa 2 Kabupaten Banjar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, untuk ini dilakukan analisa deskriptif kualitatif, sedangkan
dalam mengambil kesimpulan penulis menggunakan metode induktif, yaitu mengambil
kesimpulan secara umum berdasarkan data-data khusus yang ada di lapangan.
E. Prosedur Penelitian
Dalam melakukan penelitian ada beberapa
prosedur dan tahapan yang penulis lalui, yaitu :
1. Tahap pendahuluan :
a.
Penjajakan ke lokasi yang diteliti
b. Konsultasi dengan dosen
pembimbing
c. Mengajukan desain proposal penelitian.
2. Tahap persiapan
a.
Seminar proposal
b.
Revisi
hasil seminar dengan petunjuk dosen pembimbing yang telah ditentukan.
c. Memohon surat izin riset dari ketua STAI Darussalam Martapura.
d.
Menyiapkan
daftar wawancara dan observasi.
3. Tahap pelaksanaan
a. Praktek ke lapangan dengan melakukan wawancara
dan observasi untuk mencari data.
b. Mengumpulkan data.
c. Mengelola data.
4. Tahap penyusunan laporan
Pada
tahap ini dilakukan penyusunan laporan hasil penelitian berdasarkan sistematika
yang telah di tentukan, kemudian diserahkan kepada pembimbing untuk dikoreksi
dan disetujui. Setelah itu diperbanyak dan selanjutnya siap untuk diujikan dan
dipertahankan.
[1]
Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media), h, 67
[2]
Ibid, h, 69
[3] Isna Ainullah
Nur, pedoman menerapkan pendidikan di sekolah, (laksana:Yogyakarta,
2012), 132
[4] Imam Ibnu
Kasir, Perencanaan Tafsir Jili B, (Bina Ilmu: Surabaya, 1999), h, 37
[5]
Chaterine Shanaz, Memori Super, (jogjakarta: PT Buku Kita, 2016), h, 98
[6]
Ibid, h, 99
[7]
Ibid, 101
[8] Salsa
az-Zahra, Membimbing Spritual anak, (jogjakarta: Darul Hikma, 2016), h,
47
[9] Akhma Muhaimi
Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h, 23
[10] De Porte Bobbi
& Hernacki Mike, Quantum Learning, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2009), h, 123
[11] N. Yustisia, 75
Rahasia Anak Cerdas, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016), h, 53
[12] Akhmad
Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak,
(Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2016),h, 27
[13] Ibid, h, 26
[14] Akhmad
Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak,
(Jogjakarta:Ar-Ruzz media, 2016), h, 13
[15] Muh Nur, Psikologi
Pembelajaran Anak Usia Dini,( Surakrta: CV Narotama Kreasindo, 2016), h, 27
[16] Akhmad
Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spritual Bagi Anak, ( Jogjakarta:
Ar-Ruzz media, 2016), h, 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar