Selasa, 31 Oktober 2017

BAB II KECERDASAN SOSIAL



BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian Kecerdasan Sosial
Kecerdasan Sosial adalah kemampuan yang mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial di dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Kecerdasan sosial sangat berperan besar dalam kehidupan, karena sangat penting dalam menunjang kehidupan bermasyarakat.[1]

Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu.[2]

Harus diakui pengajaran di sekolah saat ini lebih menekankan pada pemikiran kritis yang hanya mengarah pada kecerdasan intektual melalui pengetahuan, kemampuan analisis, kemampuan sintetis namun kurang memberikan perhatian pada kecerdasan emosional dan spiritual yang sangat dibutuhkan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan.
Karena itu, tidaklah cukup apabila orang tua mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang cerdas, sehat, bermoral,berbudi luhur, ceria, mandiri, dan kreatif hanya menyerahkan kepada sekolah saja. Anak membutuhkan kesempatan lebih luas, seperti bersosialisasi dengan orang lain dan mendapatkan kegiatan untuk mengungkapkan potensi serta kreatifitas salah satunya dengan peningkatan kecerdasan sosial pada anak.[3]
Kecerdasan sosial adalah kemampuan dalam mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Jenis kecerdasan ini sangatlah penting dalam menunjang kehidupan bermasyarakat, karena sukses tidaklah identik dengan kemampuan Intelektual Quetiont (IQ), namun ada peran kecerdasan sosial juga.
Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang harus dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan respon yang layak. Hal ini juga yang mendasari kecerdasan sosial, dimana kecerdasan sosial merupakan suatu keterampilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain.[4]

Kemudian Thorndike menambahkan pengertian kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Harus diakui pengajaran di sekolah saat ini lebih menekankan pada pemikiran kritis yang hanya mengarah pada kecerdasan intektual melaui pengetahuan, kemampuan analisis, kemampuan sintetis namun kurang memberikan perhatian pada kecerdasan emosional dan spiritual yang sangat dibutuhkan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan.[5]
Karena itu, tidaklah cukup apabila orang tua mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang cerdas, sehat, bermoral, berbudi luhur, ceria, mandiri, dan kreatif hanya menyerahkan kepada sekolah saja. Anak membutuhkan kesempatan lebih luas, seperti bersosialisasi dengan orang lain dan mendapatkan kegiatan untuk mengungkapkan potensi serta kreatifitas salah satunya dengan peningkatan kecerdasan sosial pada anak.
            Kecerdasan sosial adalah kemampuan dalam mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Jenis kecerdasan ini sangatlah penting dalam menunjang kehidupan bermasyarakat, karena sukses tidaklah identik dengan kemampuan Intelektual Quetiont (IQ), namun ada peran kecerdasan sosial juga.[6]

            Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang harus dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan respon yang layak. Hal ini juga yang mendasari kecerdasan sosial, dimana kecerdasan sosial merupakan suatu keterampilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemudian Thorndike menambahkan pengertian kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
1.      Definisi Kecerdasan Sosial Menurut Para Ahli
Kecerdasan sosial erat kaitannya dengan kata “sosialisasi.” Suean Robinson Ambron mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing seseorang ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.[7]
Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa inggris: intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu.
Kecerdasan sosial erat kaitannya dengan kata “sosialisasi.” Suean Robinson Ambron  mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing seseorang ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. [8]
menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.[9]
Menurut Buzan, kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya.
Anderson, mengungkapkan konsep kecerdasan sosial diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan.[10]
Pengembangan kecerdasan sosial mengandalkan keunggulan pribadi, minimal mencakup emapat bidang :
a.       Membaca mitos dan diversi sosial di masyarakat
b.      Memahami pentingnya pembinaan diri seumur hidup
c.       Mengenal aksi sosial, tuntutan situasi sosial, dan merancang reformasi sosial
d.      Mengembangkan belas kasih dan memerhatikan sesama
Stephen Jay Could, menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.[11]
2.      Komponen dan Indikator Social Intelligence
a.       SI (Social Intelligence) internal:
1)      Keinginan untuk bersosial dari dalam diri
2)      Menjalin hubungan yang baik dengan orang lain
3)      Mengorbankan kepentingan diri demi orang lain
b.      SI (Social Intelligence) eksternal:
1)      Adanya pengaruh untuk bersosialisasi
2)      Menyelesaikan permasalahan dalam berinteraksi Sosial
3)      Bersosial karena adanya faktor yang lain (supaya mendapat sanjungan dan pujian dari orang lain).



3.      Model Kecerdasan Sosial Menurut Para Ahli
Pada tahun 2005, Karl Albrecht mengusulkan sebuah model sosial intelligence yang terdiri dari lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita dalam bukunya : Ilmu Baru Sukses, yaitu “SPACE”.
a.     Kesadaran situasional (situational awareness). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka terhadap kebutuhan serta hak orang lain. Salah satu contohnya adalah orang yang tanpa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak. Selain itu contoh lainnya adalah orang yang merokok di ruang ber-AC atau merokok dalam kendaraan umum dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya. Melihat dari contoh-contoh tersebut pastilah orang tersebut bukanlah tipe pribadi yang paham akan makna kesadaran situasional.[12]
b.     Kehadiran/kemampuan membawa diri (presence). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk.[13]
c.      Keaslian (authenticity). Sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia dan bermartabat.
d.     Kejelasan (clarity). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara baik sehingga atasan atau rekan kerja kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan kebeningan. 
e.      Empati (empathy). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki keterampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang baik kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.

B.     Pengaruh Kecerdasan Sosial terhadap Kesuksesan 
Sosial IQ adalah ukuran kecerdasan sosial. Sosial IQ didasarkan pada 100 titik  skala, dimana 100 adalah skor rata-rata dan 140 (di atas 140) dianggap sangat tinggi. Sosial IQ di ukur dengan teknik tanya jawab. Orang dengan sosial IQ yang rendah akan dianggap anak-anak dan belum dewasa, bahkan jika orang tersebut pun telah berumur dewasa. Cara yang baik untuk mengukur sosial IQ adalah dengan menggunakan sistem IQ dasar, disesuaikan dengan keterampilan sosial. Kebanyakan orang memiliki IQ sosial 85-115.
Orang dengan sosial IQ di bawah 80 mungkin memiliki gangguan spektrum autisme, seperti sindrom Asperger dan skizofrenia. Orang-orang ini mungkin mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan memerlukan pelatihan keterampilan sosial atau dukungan tambahan dari spesialis jiwa.
Orang-orang ini sulit mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak memiliki komunikasi interpersonal yang diperlukan dan keterampilan sosial untuk sukses dalam angkatan kerja. Orang-orang ini dapat bekerja dengan baik dalam pekerjaan meja kantor, pekerjaan rumah atau pekerjaan yang tidak memerlukan banyak interaksi, seperti konstruksi.
Orang dengan sosial IQ di atas 120 dianggap sangat terampil dan menyesuaikan diri dengan baik, dan bisa bekerja dengan baik dengan pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dan komunikasi dengan orang-orang.
Perhatikan tabel di bawah ini :
Tingkat Sosial Intelligence
Umur

120 (diatas rata-rata – sosial dewasa untuk usia)
20.4

110
18.7

100 (rata-rata)
17

90
15,3

80
13,6

70 (dibawah rata-rata)
11,9

60
10,2

50
8,5

40
6,8

30
5,1







1.      Pentingnnya mengembangkan Kecerdasan Sosial
Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk bisa menjalin interaksi dengan sesama. Menjalin hubungan dengan sesama ini bahkan diakui oleh banyak ahli di bidang psikologi sebagai kebutuhan yang semestinya dapat dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan dalam kejiawaannya. Hal ini juga diakui oleh Daniel Goleman, dalam sebuah bukunya yang berjudul Social Intelgence. Dalam buku ini, Daniel Goleman juga mengekpolaso kecerdasan social sebagi ilmu baru dengan implikasi yang mengejutkan terhadap interpersonal, seperti reaksi antar individu dan mengatur gerak hati yang membentuk hubungan baik antar individu. Selain itu juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai pembawaan yang integral, seperti kerja sama empati, dan sifat mementingkan kepentingan orang lain.
Setiap anak itu unik, mereka mempunyai ciri dan karakter khusus yang berbeda-beda. Hal itulah yang menyebabkan kita tidak bias menerapkan pola tindakan yang sama kepada semua anak. Sebab, ketika setiap anak mempunyai karakter-karakter yang khusus, pendekatan dalam melakukan pola tindakan yang kita lakukan pun harus secara khusus.
Setiap anak terlahir dengan kecerdasan yang berbeda-beda, jika tidak dikembangkan tentu kecerdasan tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya. Disinilah peran kita sebagai orangtua menjadi penting. Kita harus benar-benar jeli terhadap segala macam pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anak kita, temasuk kecerdasannya. Itu artinya, sebagai orangtua kita mempunyai tanggung jawab besar dalammenemukan, mengebangkan, serta mendidik segala potensi yang dimiliki oleh buah hati. Semua itu dilakukan agar kelak mereka mampu menjalani kehidupan sendiri. Tentu saja hal tersebut sama sekali bukan perkara yang mudah, dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, kasih sayang, ketulusan, waktu, dan cinta yang luar biasa untuk bias melakukan itu semua. Untuk itulah, penting bagi orangtua untuk mulai melakukakkanhya. Sekarang, adalah waktu yang paling tepat untuk mulai mengetahui kecerdasan manakah yang anak kita miliki.[14]

Bicara mengenai perkembangan anak, hal ini tidak bias dilepaskan dari disiplin ilmu psikologi. Bagaimanapun juga, psikologilah yang mula-mula mengerti dan membahas perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Ilmu psikologi biasa kita kenal sebagai ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku manusia. Bias jadi, dikatakan bahwa ilmu psikologi merupakan ilmu jiwa yang perhatian studinya difokuskan pada objek manusia, terutama pada perilaku manusia.
Hal ini tak lain karena psikologi berangkat dari prinsip dasar psikologi yang mengaggap bahwa taka da manusia yang dilahirkan dengan perilaku sama sekalipun terlahir kembar. Akan tetapi, perilaku dan sifat-sifat yang umumnya dilakukan tidak jarang yang terualng pada manusia lainnya. Oleh karena itu, keterulangan inilah yang dijadikan dasar untuk meneliti perilaku manusia. [15]

Setiap orang mempunyai harapan agar kehidupannya dapat mencapai kesuksesan. Demikian pula dengan para orantua, sudah barang tentu menginginkan agar anak-anaknya dapat meraih kesuksesan. Dalam rangka meraih kesuksesan tersebut, kecerdasan intelktual dipercaya sebagai jalnnya. Dengan demikian, banyak orangtua khirnya memilih sekoah yang maju dan favorit agar keecrdasan anak-anaknya dapat terasah dengan baik.Tak jarang orangtua juga mengikutkan berbagai les pelajaran tambahan buat anaknya agar kecerdsana intelektual anaknya dapat berkembang secara optimal.[16]

C.    Pengaruh Kecerdasan Sosial terhadap Kesuksesan
Sosial IQ adalah ukuran kecerdasan sosial. Sosial IQ didasarkan pada 100 titik  skala, dimana 100 adalah skor rata-rata dan 140 (di atas 140) dianggap sangat tinggi. Sosial IQ di ukur dengan teknik tanya jawab. Orang dengan sosial IQ yang rendah akan dianggap anak-anak dan belum dewasa, bahkan jika orang tersebut pun telah berumur dewasa. Cara yang baik untuk mengukur sosial IQ adalah dengan menggunakan sistem IQ dasar, disesuaikan dengan keterampilan sosial. Kebanyakan orang memiliki IQ sosial 85-115.
Orang dengan sosial IQ di bawah 80 mungkin memiliki gangguan spektrum autisme, seperti sindrom Asperger dan skizofrenia. Orang-orang ini mungkin mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan memerlukan pelatihan keterampilan sosial atau dukungan tambahan dari spesialis jiwa.[17]
Orang-orang ini sulit mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak memiliki komunikasi interpersonal yang diperlukan dan keterampilan sosial untuk sukses dalam angkatan kerja. Orang-orang ini dapat bekerja dengan baik dalam pekerjaan meja kantor, pekerjaan rumah atau pekerjaan yang tidak memerlukan banyak interaksi, seperti konstruksi.
Orang dengan sosial IQ di atas 120 dianggap sangat terampil dan menyesuaikan diri dengan baik, dan bisa bekerja dengan baik dengan pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dan komunikasi dengan orang-orang.[18]
Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan mendiami sebuah planet yang bernama Bumi ini, sudah tentu ada maksud dan tujuannya. Tidak diciptakan begitu saja, keudian menjalani kehidupan di bumi ini, setelah itu mati dan selesai, tentu manusia tidak berbeda dengan makhluk yang lainnya sebagiaman hewan, misalnya.
Manusia dicptakan Tuhan dengan bentuk yang sempurna bila dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Manusia juga dibekali akal agar dapat menjalani kehidupan dan mengelola bumi denga lebih baik, bekal terakhir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yakni manusia adalah makhluk hidup yang berakal.[19]
Bila ditinjau dari ajaran Islam . setidaknya ada dua tujuandari diciptakannya manusia di dunia ini, yakni sebagai abdi dan sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan yang menciptakannya, sedangkan sebagai khalifah, manusia berperan sebagai wakil Tuhan untuk bias mengelola kehidupan di bumi ini dengan baik.
Dalam konteks kindonesiaan, UU Guru dan Dosen yang telah disahkan oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah menyampaikan sebuah kenyataan bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki kecerdasan sosail agar proses pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal yang penting ini. Apalagi bila kita menegok ke belakang, lebih tepatnya pada masa-masa krisis multidimensi yang telah melanda Indonesia pada 1997. Pada masa tersebut, betapa kita semuanya menyaksikan sebagian masyaraklay Indonesia telah kehilangan kearifan-kearifan social yang agung. Misalnya, sikap untuk bias bertoleransi kepada orang lain telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan berrempati entah tinggal seberapa tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semnatgat untuk bias menolong serta barbagi kepada sesame telah dikalahkan oleh sifat egois atau bahkan emosi yang tak terkendali.
Dewasa ini publik juga mulai menyadari bahwa kecerdasan seosial itu sangat penting agara seseorang bias sukses dalam meniti karier, baik itu usaha seseorang bias sukse dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa banyak orang yang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memiliki kecerdasan social yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama mempunyai rasa empati, atau piawai dalam menjalin komunikasi.
Demikian pula dengan hasil penelitian jangka panjang terhadap 95 Mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, dalam penelitian tersebut dinyatakan mereka yang saat kuliahnya dahulu mempunyai kecerdasan intelektual tinggi, tetapi memiliki sifat egois, angkuh, atau tampak kurang dalam pergaulan, ternyata hidup mereka tidak terlalu sukses (berdasarkan gaji, produktifitas, dan status bidang kerja) bila dibandingkan dengan mereka yang kecerdasan intelektualnya biasa saja, tetapi supel dalam pergaulan, mempunyai banyak teman, bias berempati, pandai bekomunikasi, dan tidak temperamental.
 Mengembangkan kesadaran tersebut bias kita mulai dari bagaiman cara kita membimbing dan mendidik anak-anak kita. Kita sadar dan mengetahui bahwa anak-anak yang dinugerahkan oleh Tuhan kepada kita sudah dibekalai dengan potensi-potensi yang sangat penting untuk dikembangkan demi kesuksesan kehidupan pada masa mendatang. Potensi yang diberikan Tuhan itu tidak bias kita biarkan begitu saja agar sang anak berkembang dengan sendirinya. Atau, kita biarkan saja potensi yang dahsyat itu sehingga tidak berkembang dan akhirnya malah berakibat menjadi tidak berguna bagi kehidupan anak kita.
Disinilah sesungguhnya dirasa perlu adanya pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anak kita. Disinilah dibutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi orangtua untuk bias memberikan asuhan dan pendidikan yang terbaik bagi anak anaknya. Asuhan dan pendidikan yang baik sudah tentu tidak hanya disekolah, tetapi juga dalam lingkunga keluarga. Disini juga perlua ada keseimbangan antara pendidikan di seklah dan keluarga.
Seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi, perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap  bagaimana hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu dengan adanya orang lain.
Keadaan seperti ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan. Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh dan  kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua mempunyai kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada anak misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua.
Di samping hal tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah mempunyai aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga tak akan mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang anak yang disibukan dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les pelajaran ini dan itu, memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orang tua kebanyakan bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan sosial.
Maka tidak sedkit dilingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi kecerdasan intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan bila diminta berkiprah di organisasi social, baik itu semacam karang taruna, remaja mesjid atau kelompok solidaritas lainnya. Inilah anak-anak yang cerdas secara intelektual, tetapi gagap dalam kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika telah menyelesaikan masa belajarnya, baik itu sekolah maupun di kampus, mau tidak mau, sudah tentu ia akan hidup dan berinteraksi dengan orang lain; baik itu di lingkungan tempat tinggalnya bekerja maupun di tengah-tengah masyarakat. Kecerdasan intelektual sangat penting untuk terus di kembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh diabaikan.
Hasil penelitian Daniel Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan pada zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak kita akan lebih nudah dalam meraih kesuksesan.



D.    KECERDASAN YANG PENTING UNTUK DIKEMBANGKAN
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1) Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemempuan seseorang dalam memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini menjadi akar istilah kecerdasan emosional.
Charles Handy membagi kecerdasan manusia menjadi tujuh macam (1) Kecerdasan logika kecerdasan ini sangat terkait dengan kemampuan manusia dalam menalar dan menghitung (2) Kecerdasan verbal kemampuan manusia dalam menjalin hubungan dengan orang lain kemampuan menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi (3) Kecerdasan praktik kemampuan manusia dalam mempraktikan ide  yang ada dalam pikirannya (4) Kecerdasan dalam bidang musik  kemampuan untuk bisa merasakan nada dan irama yang bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama musik yang baik (5) Kecerdasan intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa memahami segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan interpersonal kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang  dalam memahami dan menjalin hubungan dengan orang lain (7) Kecerdasan spasial kecerdasan manusia dalam menggali ruang atau dimensi, garis maupun warna. 
Howard Gardner kecerdasan manusia terbagi menjadi delapan jenis diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1) Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang. Kecerdasan ini pada umumnya dapat dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua termasuk juga pendidikan formal di sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok yakni kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah hubungan sosial. Kecerdasan emosional ini  ditemukan oleh Daniel Goldman dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh sederetan factor yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional. (3) Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual terkait erat dengan kemampuan yang berujung pencerahan jiwa.

E.     MELATIH KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK
Lawrence E. Shapiro, dalam bukunya yang berjudul How to Raise a Child with a High EQ, menyampaikan bahwa setidaknya ada lima keterampilan social yang bisa dilatih pada anak agar mempunyai kecerdasan sosial yang baik.
1.      Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi bukan sekedar kemampuan berbicara, melainkan mampu menyampaikan dengan baik kepada oranmg lain sekaligus juga mampu memahami dan memberikan respons atau komunikasi yang di jalin orang lain. Keterampilan berkomunikasi ini bisa kita jalin dengan cara kita minta anak untuk mengungkapkan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya dengan jelas, kita sebagai orang tua perlu mendengarkan dengan seksama sambil sesekali merespons dengan pertanyaan baru, kenapa, apa alasannya, dan seterusnya. Kita juga bisa meminta anak untuk menyampaikan atau menggambarkan kejadian-kejadian yang di lihat misalnya, seusai melihat kecelakaan kita bisa bertanya kepada anak tentang bagaimana perasaannya melihat kecelakaan tersebut. Disamping melatih komunikasi, latihan ini juga dapat mengembangkan empati pada anak.
2.      Keterampilan Membuat Humor
Jalinan hubungan sosial akan terasa hampa bila sama sekali tanpa diselingi dengan humor. Dengan adanya humor seseorang bisa tertawa, atau humor tidak harus membuat tertawa tapi cukup membuat tersenyum sehingga melekat hubungan dan rasa ringan di hati. Ada pernyataan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mempunyai selera humor; dan termasuk mempunyai kecerdasan tingkat tinggi apabila seseorang mampu menetawakan dirinya sendiri. Melatih keterampilan humor bahkan bisa kita mulai sejak anak masih bayi. Misalnya, kita menutup muka kita dengan telapak tangan kemudian kita buka sambil bilang “Cilukba” meskipun permainan ini tampak sederhana, sudah merupakan hal yang lucu pada anak. Contoh lain ketika anak sudah mulai berjalan dan sudah mengenal
 beberapa benda dan fungsinya, kita meletakan kaus kaki di kepala, ini juga merupakan humor tersendiri. Bila anak-anak sudah mulai mengenal beberapa hal yang membuatnya merasa lucu, maka ia akan belajar membuat humor sendiri. Semua itu karena untuk membuat humor dan merasa senang dengan adanya humor adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Dengan demikian jalinan sosial yang dibangunnya kelak tidak hambar, tetapi berkelanjutan dengan baik.
3.      Keterampilan Menjalin Persahabatan
Ketika anak telah memasuki usia 7 atau 8 tahun, biasanya mulai menjauh dari pengaruh orang tuannya. Keinginan mulai menjauh adalah hal yang wajar karena anak mulai mendapatkan banyak teman baru disekolah atau di lingkungan sosialnya. Pada saat seperti ini seorang anak biasanya ingin mendapatkan perhatian, persetujuan, dan dukungan dari temannya. Menghadapi perkembangan tersebut, orang tua juga tidak boleh tinggal diam disini lah saatnya orang tua melatih keterampilan dalam menjalin persahabatan. Keterampilan dasar yang perlu kita latihkan adalah keterampilan dalam memahami kebutuhan orang lain sebagaimana kita sendiri membutuhkannya. Misalnya, kita senang jika didengar, maka kita belajar untuk mendengarkan bila orang lain berbicara. Kita akan merasa sakit hati apabila diledek orang lain, maka kita pun belajar tidak meledek orang lain atau teman kita. Kita akan senang bila orang lain memberikan perhatian, maka kita pun belajar untuk bisa memberikan perhatian kepada orang lain. Contoh lain adalah bisa berbagi dengan orang lain, kita bisa melatih kepada anak saat mempunyai makanan, kita ajari anak untuk berbagi makanan tersebut kepada temannya, saat mempunyai mainan kita latih anak untuk meminjamkan mainannya kepada temannya. Sungguh ini bukan hal kecil dan sangat besar nilainya dalam hubungan sosial. Satu hal lagi yang perlu digaris bawahi dalam menjalin persahabatan yakni, persahabatan yang baik bukan sahabat dengan satu orang saja dan mengabaikan atau tidak mau menjalin persahabatan dengan teman-teman yang lainnya. Namun, persahabatan yang baik bisa dijalin dengan banyak teman sehingga pergaulan pun akan semakin luas.
4.      Keterampilan Berperan dalam Kelompok
Ketika anak-anak sudah mulai mengenal dunia pergaulan biasanya senang bila mempunyai kelompok. Karena anak merasakan bahwa bergabung atau menjadi anggota kelompok dapat meningkatkan percaya diri dan rasa memiliki akan kelompok tersebut. Masa-masa ingin berkelompok ini adalah masa yang penting untuk diperhatikan orang tua. Bila tidak ada perhatian dari orang tua bisa saja anak akhirnya malah masuk kelompok yang tidak baik. Disinilah pentingnya orang tua melatih anak-anaknya untuk mempunyai keterampilan berperan dalam kelompok. Hal penting yang perlu dilatih adalah keberanian untuk menyampaikan pendapat. Dalam sebuah kelompok walaupun tidak formal biasanya akan dianggap punya peran bila ada orang yang berani menyampaikan pendapat. Sudah barang tentu, pendapat yang dimaksud adalah pendapat yang bisa mempengaruhi orang lain untuk berbuat positif. Bila anak sudah terlatih dalam menyampaikan pendapat, maka kepercayaan dirinya akan terbangun dengan baik karena kepercayaan diri adalah modal yang penting agar seseorang bisa berperan dalam kelompok sosial.
5.      Keterampilan Bersopan Santun dalam Pergaulan
Sopan santun dalam pergaulan sangat diperlukan di kehidupan masyarakat. Bersopan santun adalah melakukan budi pekerti yang baik atau sesuai dengan tatakrama yang dianut dan berlaku di masyarakat. Orang yang bisa melakukan sopan santun akan mendapatkan nilai dan tempat yang baik dalam sebuah pergaulan. Sangat penting buat orang tua untuk bisa mengajarkan keterampilan bersopan santun dalam pergaulan ini. Orang tua dapat melatih keterampilan sejak dini misalnya, bila bertemu atau berpapasan dengan orang lain kita ajari anak untuk menyapa, permisi, tersenyum atau setidaknya menunjukan gestur dan mimik bahwa kita “menyapa”. Apabila berbicara dengan orang lain perlu menggunakan nada suara sewajarnya saja, maksudnya tidak perlu terlalu keras sehinga terkesan seperti membentak. Termasuk baian dari sopan santun dalam pergaulan adalah tidal mendominasi pembicaraan seakan orang lain tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Ada satu hal yang penting dalam keterampilan bersopan santun ini, yakni hendaknya sopan santun yang dilakukan bukan karena basa-basi tetapi dilakukan berangkat dari ketulusan hati, sopan santun yang berangkat dari ketulusan hati tidak akan dapat dilakukan oleh orang yang dalam hatinya ada perasaan sombong. Maka, kesombongan itu harus dihilangkan bila seseorang ingin mempunyai kecerdasan social yang baik.

F.      IBU SEBAGAI SEKOLAH PERTAMA BAGI ANAK
Mengembangkan kecerdasan anak adalah tanggungjawab kedua orangtuanya. Bagi orang tua yang menerapkan pendidikan bagi anak-anaknya dalam homeschooling, maka tanggung jawab ini dapat diterapkan secara sepenuhnya. Namun, bagi orang tua yang tidak bisa memberikan pendidikan anak-anaknya secara penuh, maka pelaksanaannya didelegasikan kepada sekolah formal atau reuler.
Ketika anak-anak berada di sekolah formal atau reguler, maka pelaksanaan tanggung jawab pendidikan anak-anak kita berada di tangan guru dan pengelola sekolah. Akan tetapi, bila anak-anak berada di rumah, maka kedua orangtua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan anak-anaknya. Peran orang tua disini adalah kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya. Namun, bila ditinjau bahwa seorang ibu mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan anak-anaknya, maka peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat penting sekali. Itulah kenapa kita sering mendengar istilah ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Kedekatan seorang ibu dengan anaknya dimulai semenjak ibu mengandung anaknya. Selama dalam kandungan, seorang anak mempunyai hubungan fisiologis maupun psikologis yang tidak dapat dipisahkan dengan ibunya. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa keadaan psikis mental seorang ibu sangat berhubungan dengan anaknya. Ketika seorang ibu merasa bahagia, rileks, dapat menjalin hubungan komunikasi yang nyaman dengan suaminya (ayah sang bayi), makan terlihat pula sikap dan kondisi psikis anak menjadi serupa dengan ibunya yakni anak tampak ceria, nyaman dan mampu mengeksplorasi dengan baik hal-hal yang ada di sekelilingnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ketika seorang ibu setres, cemas, takut, tidak mampu berfikir jernih, mengalami emosi yang tidak stabil, maka anakpun akan memperlihatkan sikap yang tidak menyenangkan, seperti rewel, melawan, tampak mengalami ketakutan yang berlebihan dan sikap-sikap yang lain yang jika dibiarkan akan berakibat buruk bagi tumbuh dan berkembangnya anak kita.Disinilah sesungguhnya peran ibu sangat penting bagi pendidikan anak-anaknya. Bila sudah demikian bukan berarti peran seorang ayah tidak penting. Namun harus diakui juga bahwa kedekatan seorang kepada anaknya biasanya berkirang karena terjadi dua faktor eksklusif (tidak mengandung dan menyusui anaknya), juga karena secara waktu pun biasanya seorang ayah ternyata masih kalah dengan ibunya yang lebih banyak dekat dengan anak-anaknya.
Menyadari betapa besar peran seorang ibu sebagai pendidik utama dan pertama, maka seorang ibu yang ingin anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang  dengan baik termasuk dalam hal ini adalah mengembangkan berbagai kecerdasan yang sudah dimiliki sang anak, meskinya mempersiapkan diri dengan banyak bekal pengetahuan yang berkaitan dengan mendidik anak-anaknya semenjak usia dini. Hal ini juga harus didukung oleh suaminya sebagai mitra sejajar dalam berumah tangga. [20]
Bekal pengetahuan agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang dimiliki seorang ibu dapat diterapkan dalam hangatnya pengasuhan dan kelembutan bersikap. Disebabkan mengembangkan kecerdasan anak, terutama kecerdasan emosional, social dan spiritual sangat dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa cinta, atensi, dan apresiasi. Oleh sebab itu, dalam konteks inilah aktivitas pengasuh menjadi sangat penting. Sementara pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Disebabkan ibulah sosok yang paling dikenal oleh anak. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, sungguh akan sangat berkesan bagi anak-anaknya sehingga bisa mengubah anak-anaknya untuk terus berkembang menjadi lebih baik.[21]

Melalui pendampingan yang terus menerus dan beberapa latihan yang ada di artikel sederhana ini, semoga kita dapat mengembangkan kecerdasan sosial anak-anak kita. Sebuah kecerdasan yang membuat anak-anak kita bisa menjalin banyak hubungan secara baik dalam kondisi bagaimana pun dalam berinteraksi social; baik itu disekolah, dengan teman-teman bermainnya, atau kelak ketika besar, maka kecerdasan sosialnya akan berguna di tempat kerja, ketika berhubungan dengan relasi bisnis maupun dalam pergaulan lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Tidak ada manusia yang bisa hidup dendiri. Antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dalam sebuah hubungan sosial.[22]

G.    Manfaat kecerdasan Sosial Bagi Anak
Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari upaya mengembangkan keecrdasan social. Setelah di dalam buku sederhana ini kita mengetahui betapa penting dan bagaimana mengebangkan kecerdasan social dalam kehidupan. Selanjutnya kita menelusuri beberapa contoh manfaat mengebangkan kecerdasan sosail bagi kehidupan, sebagai berikut:


1.      Menyehatkan jiwa dan raga
Pola hubungan sosial seseorang dipercaya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesehatannya. Hal ini bias kita ketahui dari banyak kenyataan bahwa orang-orang yang mempunyai jalinan hubungan yang baik dengan orang lain biasanya mampu menjalani hari-hari dengan baik, menyenangkan, ketika mempunyai masalah aka nada orang lain yang di ajak berdiskusi dan mencari jalan keluar, banyak menemukan hal baru dari sebuah hubungan, dan sebagainya. semua itu akan berakibat baik bagi kejiwaan seseorang sanga terkait dengan kesehatan basdannya.
Seseorang yang egois, temperamental, pemarah, dan mudah menyalahkan orang lain adalah contoh seseorang yang tidak mempunyai hubungan lain. Dengan demikian, ketika ia mendapatkan masalah, biasanya dipendam sendiri, dan hal ini juga diperparah akan meunmpuk dalam dirinya. Misalnya, migraine, tekanan darah tinggi, dan beragam penyakit psikomatis lainnya.
Mengebangkan kecerdasan sosial pada anak kita ternyata akan bermanfaat bagi kesehatan jiwanya  dan berakibat pula bagi kesehatan raganya.. sungguh hal ini pentingsekali untuk diperhatikan . disamping karena kesehata n itu mahal harganya, bukankah mencegah datangnya penyakit itu lebih baaik daripada mengobati.
2.      Membuat Suasana Nyaman
Orang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan bisa membuat suasana menjadi nyaman. Suasana yang nyaman akan menjadikan hubungan seseorang dengan yang lain terjalin dengan baik.
Ada sebuah contoh yang menarik berkaitan dengan kemampuan membuat Susana menjadi nyaman ini. Disebuah resepsi pernikahan, orangtua dari sepasang pengantin mendampingi pengantin yang sedang duduk di pelaminan. Ketika para tamu berdatangan, orangtua dan pengantin berdiri untuk menyelami para tamu yang mendatangi pelaminan.

H.    Pengertian  Pendidikan Agama Islam
1.      Pengertian  Pendidikan 
Menurut etimologi kata pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang menurut Poerwadaminta didik ini sama dengan mendidik, yang artinya “memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir”.[23]
Kemudian kata didik itu diberi imbuhan dengan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pendidikan” dan berubah jadi kata kerja, maka dengan demikian pendidikan berarti perbuatan mendidik.
Dari bentukan diatas, jelaslah bahwa pendidikan merupakan latihan, ajaran, bimbingan dan pimpinan atau memberikan pengajaran.  Dan itu tentu di dalam pendidikan terdapat unsur didik dan yang mendidik, dengan kata lain anak didik yang diberi didikan dan ada pendidik yang memberikan pendidikan. 
Sedangkan pendidikan menurut terminologi ialah Oemar Hamalik mengemukakan: “Pendidikan  adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri  sebaik mungkin terhadap lingkungannya.”[24]
Adapaun dalam GBHN dinyatakan bahwa “Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.”[25]
Menurut Ahmad D. Marimba mengemukakan “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[26]
Dari beberapa pengertian pendidikan  diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah  suatu perbuatan (usaha) dari generasi tua untuk mengalihkan  pengetahuan dan keterampilan kepada generasi muda dan juga mengalihkan kebudayaan untuk menyiapkan mereka memenuhi hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Atau juga dengan kata lain pendidikan  adalah suatu proses budaya yang terjadi di samping kehidupan guna mewujudkan aneka perubahan dalam rangka membentuk dan mengembangkan segenap potensi yang bersifat pembawaan, intelektual dan emosional untuk kepentingan hidup dan kehidupan bagi manusia itu sendiri dan selanjutnya membawa dampak positif bagi masyarakat.
2.      Pengertian Agama
Agama dalam  bahasa Arab adalah “Ad-din”, yang tercantum dlaam  al-Quran (Q.S. Al-Maidah: 3) mengandung  pengertian  peraturan manusia dengan tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat, termasuk dirinya sendiri dan alam lingkungan hidupnya (horizontal).[27]       
Agama berasal dari bahasa sansekerta yang akat katanya “gam”,  kedudukannya serumpun dengan kata “gaan” (dalam bahasa Belanda) atau “go” (dalam bahasa Inggris).  Gam, gaan, go itu masing-masing  adalah kata kerja, yang menunjukkan  kepada pengertian pergi atau berjalan.  apabila kata gam itu diberi awalan “a” dan akhiran “a” ia akan menjadi agama, kini ia berubah bentuk menjadi kata benda yang berarti “jalan menuju”.[28]
Dari uaraian diatas dapatlah diambil kesimpulan  agama itu artinya tidak kucar kacir.  Agama adalah petunjuk jalan keelamatan yang bersisi perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan atau dijauhi, disimpulkan dengan peran Rasul-Nya dan menyuruh manusia untuk berbuat baik kepada manusia dan beribadah kepada Tuhannya.
3.      Pengertian Pendidikan  Agama Islam
Abd. Rahman Shaleh mengemukakan: Pendidikan Agama Islam  adalah  usaha bimbingan dan asuhan terhadap mahasiswa agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (jalan kehidupan).[29]
Ahmad Marimba memberikan batasan: Pendidikan  Agama islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum agama menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut Islam (Kepribadian muslim).[30]
Zakiah Daradjat dan kawan-kawan mengemukakan: Pendidikan  agama Islam adalah pembentukan kepribadian yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam.[31]
Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan  agama Islam ialah suatu usaha berupa bimbingan arahan, atau tuntunan terhadap pekermbangan anak, baik jasmani maupun rohani agar tercipta suatu kepribadian utama menurut ajaran Islam.
Dan yang  dimaksud disini adalah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang merupakan  salah satu mata pejaran yang wajib diajarkan pada sekolah umum,  penanaman ini sangat umum karena di dalamnya mengandung sejumlah materi yang menyangkut kepada berbagai bidang  keislaman, baik tauhid, fiqih, dan akhlak.




[7] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Word Press, 2013)h, 123)
[8] Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, hal.123).

[9] Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994, H, 89
[10] Anderson, (dalam Safaria, 2005), H, 45 
[11] On Intelligence, Monash University: 1994,
[14] N. Yunistisia, 75 Rahasia Anak Cerdas, ( Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h, 18
[15] M. Thobrani & Fairuzul Mumtaz, Mendongkrang Kecerdasan Anak Melalui Bermain dan permainan, ( Jakarta: Kata hati, 2016), 12
[16] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengebangkan kecerdasan Spritual Bagi Anak, ((Jakarta: kata Hati, 2016), h, 9
[19] Akmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan  Sosial bagi Anak, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) h, 16
[21] Media bil Hikmah, Blog. “Intelektual, Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasan Spiritual.” Dalam http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/51. Diakses pada Maret 2010.
[22] Ervin, “Adalah Ibu, Sekolah Pertama Bagi Anak” Dalam http//keluarganuryadi.multiply. com/journal/item/6. Diakses pada Maret 2010.

[23] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.656.
[24] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001), h.79.
[25] Ketetapan-Ketetapan MPR RI 1988 (Jakarta: 1998), h. 69.
[26] Ahmad D. Marimba. op. cit., h.19
[27] H.Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), g.37.
[28] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Bandung Balai Pustaka, 1990), h.10
[29] Abd. Rahman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h.19
[30] Ahmad D. Marimba, op. cit., h.23.
[31] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan  Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 28.