BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Pengertian Kecerdasan Sosial
Kecerdasan
Sosial adalah kemampuan yang mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan
bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial di dalam
menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Kecerdasan sosial
sangat berperan besar dalam kehidupan, karena sangat penting dalam menunjang
kehidupan bermasyarakat.[1]
Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (intelligence
quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat
pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan
kognitif yang dimiliki oleh individu.[2]
Harus diakui
pengajaran di sekolah saat ini lebih menekankan pada pemikiran kritis yang
hanya mengarah pada kecerdasan intektual melalui pengetahuan, kemampuan
analisis, kemampuan sintetis namun kurang memberikan perhatian pada kecerdasan emosional
dan spiritual yang sangat dibutuhkan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan.
Karena itu, tidaklah cukup apabila orang tua
mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang cerdas, sehat, bermoral,berbudi
luhur, ceria, mandiri, dan kreatif hanya menyerahkan kepada sekolah saja. Anak
membutuhkan kesempatan lebih luas, seperti bersosialisasi dengan orang lain dan
mendapatkan kegiatan untuk mengungkapkan potensi serta kreatifitas salah
satunya dengan peningkatan kecerdasan sosial pada anak.[3]
Kecerdasan
sosial adalah kemampuan dalam mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan
bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalin
hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Jenis kecerdasan ini
sangatlah penting dalam menunjang kehidupan bermasyarakat, karena sukses
tidaklah identik dengan kemampuan Intelektual Quetiont (IQ), namun ada
peran kecerdasan sosial juga.
Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan seseorang
untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain,
seseorang harus dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud
dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan respon yang layak. Hal
ini juga yang mendasari kecerdasan sosial, dimana kecerdasan sosial merupakan
suatu keterampilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain.[4]
Kemudian
Thorndike menambahkan pengertian kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk
memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan
dengan orang lain.
Harus diakui pengajaran di sekolah saat ini
lebih menekankan pada pemikiran kritis yang hanya mengarah pada kecerdasan
intektual melaui pengetahuan, kemampuan analisis, kemampuan sintetis namun
kurang memberikan perhatian pada kecerdasan emosional dan spiritual yang sangat
dibutuhkan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan.[5]
Karena itu, tidaklah cukup apabila orang tua
mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang cerdas, sehat, bermoral, berbudi
luhur, ceria, mandiri, dan kreatif hanya menyerahkan kepada sekolah saja. Anak
membutuhkan kesempatan lebih luas, seperti bersosialisasi dengan orang lain dan
mendapatkan kegiatan untuk mengungkapkan potensi serta kreatifitas salah
satunya dengan peningkatan kecerdasan sosial pada anak.
Kecerdasan sosial adalah kemampuan dalam mencapai
kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran
manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau
kelompok masyarakat. Jenis kecerdasan ini sangatlah penting dalam menunjang
kehidupan bermasyarakat, karena sukses tidaklah identik dengan kemampuan
Intelektual Quetiont (IQ), namun ada peran kecerdasan sosial juga.[6]
Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang
lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang harus dapat
memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan teman
interaksinya, kemudian memberikan respon yang layak. Hal ini juga yang
mendasari kecerdasan sosial, dimana kecerdasan sosial merupakan suatu
keterampilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemudian Thorndike
menambahkan pengertian kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan
mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
1.
Definisi Kecerdasan Sosial Menurut Para Ahli
Kecerdasan sosial erat kaitannya dengan kata “sosialisasi.” Suean
Robinson Ambron mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang
membimbing seseorang ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat
menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif.[7]
Kecerdasan atau yang biasa dikenal dengan IQ (bahasa inggris: intelligence
quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat
pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan
kognitif yang dimiliki oleh individu.
Kecerdasan sosial erat kaitannya dengan kata “sosialisasi.” Suean
Robinson Ambron mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar
yang membimbing seseorang ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga
dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. [8]
menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan suatu kemampuan untuk
memahami dan mengelola hubungan manusia Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang
mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan
dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.[9]
Menurut Buzan, kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang
dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan
orang-orang di sekeliling atau sekitarnya.
Anderson, mengungkapkan konsep kecerdasan sosial diartikan sebagai
kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi
dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam
situasi saling menguntungkan.[10]
Pengembangan kecerdasan sosial mengandalkan keunggulan pribadi, minimal
mencakup emapat bidang :
a. Membaca mitos dan diversi
sosial di masyarakat
b. Memahami pentingnya
pembinaan diri seumur hidup
c. Mengenal aksi sosial,
tuntutan situasi sosial, dan merancang reformasi sosial
d. Mengembangkan belas kasih
dan memerhatikan sesama
Stephen Jay Could, menjelaskan bahwa kecerdasan sosial
merupakan suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia
Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada
di balik kenyataan apa adanya ini.[11]
2.
Komponen dan Indikator Social Intelligence
a.
SI (Social Intelligence) internal:
1)
Keinginan untuk bersosial dari dalam diri
2)
Menjalin hubungan yang baik dengan orang lain
3)
Mengorbankan kepentingan diri demi orang lain
b.
SI (Social Intelligence) eksternal:
1)
Adanya pengaruh untuk bersosialisasi
2)
Menyelesaikan permasalahan dalam berinteraksi
Sosial
3)
Bersosial karena adanya faktor yang lain
(supaya mendapat sanjungan dan pujian dari orang lain).
3.
Model Kecerdasan Sosial Menurut Para Ahli
Pada tahun
2005, Karl Albrecht mengusulkan sebuah model sosial intelligence yang
terdiri dari lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial
kita dalam bukunya : Ilmu Baru Sukses, yaitu “SPACE”.
a.
Kesadaran situasional (situational awareness).
Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka
terhadap kebutuhan serta hak orang lain. Salah satu contohnya adalah orang yang
tanpa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak. Selain itu contoh lainnya
adalah orang yang merokok di ruang ber-AC atau merokok dalam kendaraan umum dan
menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya. Melihat
dari contoh-contoh tersebut pastilah orang tersebut bukanlah tipe pribadi yang
paham akan makna kesadaran situasional.[12]
b.
Kehadiran/kemampuan
membawa diri (presence). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan
sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah
sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan
meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.
Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas
presense yang baik dan mana yang buruk.[13]
c. Keaslian (authenticity).
Sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai
orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu
menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan
aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia dan
bermartabat.
d. Kejelasan (clarity).
Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan
gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa
menerimanya dengan tangan terbuka. Seringkali kita memiliki gagasan yang baik,
namun gagal mengkomunikasikannya secara baik sehingga atasan atau rekan kerja
kita tidak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali
memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu
mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan
kebeningan.
e. Empati (empathy).
Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan
gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki keterampilan untuk bisa
mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan
bisa merajut sebuah jalinan relasi yang baik kalau saja kita semua selalu
dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.
B.
Pengaruh Kecerdasan Sosial terhadap Kesuksesan
Sosial IQ adalah ukuran kecerdasan sosial. Sosial IQ didasarkan pada 100 titik skala, dimana 100 adalah skor
rata-rata dan 140 (di atas 140) dianggap sangat tinggi. Sosial IQ di ukur
dengan teknik tanya jawab. Orang dengan sosial IQ yang rendah akan dianggap
anak-anak dan belum dewasa, bahkan jika orang tersebut pun telah berumur
dewasa. Cara yang baik untuk mengukur sosial IQ adalah dengan menggunakan
sistem IQ dasar, disesuaikan dengan keterampilan sosial. Kebanyakan orang
memiliki IQ sosial 85-115.
Orang dengan sosial IQ di bawah 80 mungkin memiliki gangguan spektrum
autisme, seperti sindrom Asperger dan skizofrenia. Orang-orang ini mungkin
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan memerlukan pelatihan keterampilan
sosial atau dukungan tambahan dari spesialis jiwa.
Orang-orang ini sulit mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak memiliki
komunikasi interpersonal yang diperlukan dan keterampilan sosial untuk sukses
dalam angkatan kerja. Orang-orang ini dapat bekerja dengan baik dalam pekerjaan
meja kantor, pekerjaan rumah atau pekerjaan yang tidak memerlukan banyak
interaksi, seperti konstruksi.
Orang dengan sosial IQ di atas 120 dianggap sangat terampil dan
menyesuaikan diri dengan baik, dan bisa bekerja dengan baik dengan pekerjaan
yang melibatkan kontak langsung dan komunikasi dengan orang-orang.
Perhatikan
tabel di bawah ini :
Tingkat
Sosial Intelligence
|
Umur
|
||
120 (diatas rata-rata – sosial dewasa untuk usia)
|
20.4
|
||
110
|
18.7
|
||
100 (rata-rata)
|
17
|
||
90
|
15,3
|
||
80
|
13,6
|
||
70 (dibawah
rata-rata)
|
11,9
|
||
60
|
10,2
|
||
50
|
8,5
|
||
40
|
6,8
|
||
30
|
5,1
|
||
1.
Pentingnnya mengembangkan Kecerdasan Sosial
Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk bisa menjalin
interaksi dengan sesama. Menjalin hubungan dengan sesama ini bahkan diakui oleh
banyak ahli di bidang psikologi sebagai kebutuhan yang semestinya dapat
dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan dalam
kejiawaannya. Hal ini juga diakui oleh Daniel Goleman, dalam sebuah bukunya
yang berjudul Social Intelgence. Dalam buku ini, Daniel Goleman juga
mengekpolaso kecerdasan social sebagi ilmu baru dengan implikasi yang
mengejutkan terhadap interpersonal, seperti reaksi antar individu dan mengatur
gerak hati yang membentuk hubungan baik antar individu. Selain itu juga
mengakui bahwa setiap individu mempunyai pembawaan yang integral, seperti kerja
sama empati, dan sifat mementingkan kepentingan orang lain.
Setiap anak itu unik, mereka mempunyai ciri dan karakter khusus
yang berbeda-beda. Hal itulah yang menyebabkan kita tidak bias menerapkan pola
tindakan yang sama kepada semua anak. Sebab, ketika setiap anak mempunyai
karakter-karakter yang khusus, pendekatan dalam melakukan pola tindakan yang
kita lakukan pun harus secara khusus.
Setiap
anak terlahir dengan kecerdasan yang berbeda-beda, jika tidak dikembangkan
tentu kecerdasan tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya. Disinilah peran
kita sebagai orangtua menjadi penting. Kita harus benar-benar jeli terhadap
segala macam pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh anak kita, temasuk
kecerdasannya. Itu artinya, sebagai orangtua kita mempunyai tanggung jawab
besar dalammenemukan, mengebangkan, serta mendidik segala potensi yang dimiliki
oleh buah hati. Semua itu dilakukan agar kelak mereka mampu menjalani kehidupan
sendiri. Tentu saja hal tersebut sama sekali bukan perkara yang mudah,
dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, kasih sayang, ketulusan, waktu, dan cinta
yang luar biasa untuk bias melakukan itu semua. Untuk itulah, penting bagi orangtua
untuk mulai melakukakkanhya. Sekarang, adalah waktu yang paling tepat untuk
mulai mengetahui kecerdasan manakah yang anak kita miliki.[14]
Bicara mengenai perkembangan anak, hal ini tidak bias dilepaskan
dari disiplin ilmu psikologi. Bagaimanapun juga, psikologilah yang mula-mula
mengerti dan membahas perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Ilmu psikologi
biasa kita kenal sebagai ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal
maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku manusia. Bias jadi, dikatakan
bahwa ilmu psikologi merupakan ilmu jiwa yang perhatian studinya difokuskan
pada objek manusia, terutama pada perilaku manusia.
Hal
ini tak lain karena psikologi berangkat dari prinsip dasar psikologi yang
mengaggap bahwa taka da manusia yang dilahirkan dengan perilaku sama sekalipun
terlahir kembar. Akan tetapi, perilaku dan sifat-sifat yang umumnya dilakukan
tidak jarang yang terualng pada manusia lainnya. Oleh karena itu, keterulangan
inilah yang dijadikan dasar untuk meneliti perilaku manusia. [15]
Setiap
orang mempunyai harapan agar kehidupannya dapat mencapai kesuksesan. Demikian
pula dengan para orantua, sudah barang tentu menginginkan agar anak-anaknya
dapat meraih kesuksesan. Dalam rangka meraih kesuksesan tersebut, kecerdasan
intelktual dipercaya sebagai jalnnya. Dengan demikian, banyak orangtua khirnya
memilih sekoah yang maju dan favorit agar keecrdasan anak-anaknya dapat terasah
dengan baik.Tak jarang orangtua juga mengikutkan berbagai les pelajaran
tambahan buat anaknya agar kecerdsana intelektual anaknya dapat berkembang
secara optimal.[16]
C.
Pengaruh Kecerdasan Sosial terhadap Kesuksesan
Sosial IQ adalah ukuran
kecerdasan sosial. Sosial IQ didasarkan pada
100 titik skala, dimana 100 adalah skor rata-rata dan 140 (di atas 140)
dianggap sangat tinggi. Sosial IQ di ukur dengan teknik tanya jawab. Orang
dengan sosial IQ yang rendah akan dianggap anak-anak dan belum dewasa, bahkan
jika orang tersebut pun telah berumur dewasa. Cara yang baik untuk mengukur
sosial IQ adalah dengan menggunakan sistem IQ dasar, disesuaikan dengan
keterampilan sosial. Kebanyakan orang memiliki IQ sosial 85-115.
Orang dengan sosial IQ di
bawah 80 mungkin memiliki gangguan spektrum autisme, seperti sindrom Asperger
dan skizofrenia. Orang-orang ini mungkin mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi dan memerlukan pelatihan keterampilan sosial atau dukungan
tambahan dari spesialis jiwa.[17]
Orang-orang ini sulit
mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak memiliki komunikasi interpersonal
yang diperlukan dan keterampilan sosial untuk sukses dalam angkatan kerja.
Orang-orang ini dapat bekerja dengan baik dalam pekerjaan meja kantor,
pekerjaan rumah atau pekerjaan yang tidak memerlukan banyak interaksi, seperti
konstruksi.
Orang dengan sosial IQ di
atas 120 dianggap sangat terampil dan menyesuaikan diri dengan baik, dan bisa
bekerja dengan baik dengan pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dan
komunikasi dengan orang-orang.[18]
Manusia diciptakan oleh Tuhan untuk hidup dan mendiami sebuah
planet yang bernama Bumi ini, sudah tentu ada maksud dan tujuannya. Tidak
diciptakan begitu saja, keudian menjalani kehidupan di bumi ini, setelah itu
mati dan selesai, tentu manusia tidak berbeda dengan makhluk yang lainnya
sebagiaman hewan, misalnya.
Manusia dicptakan Tuhan dengan bentuk yang sempurna bila
dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Manusia juga dibekali akal agar dapat
menjalani kehidupan dan mengelola bumi denga lebih baik, bekal terakhir inilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yakni manusia adalah makhluk
hidup yang berakal.[19]
Bila ditinjau dari ajaran Islam . setidaknya ada dua tujuandari
diciptakannya manusia di dunia ini, yakni sebagai abdi dan sebagai khalifah di
muka bumi. Sebagai abdi, manusia berkewajiban untuk patuh dan taat kepada Tuhan
yang menciptakannya, sedangkan sebagai khalifah, manusia berperan sebagai wakil
Tuhan untuk bias mengelola kehidupan di bumi ini dengan baik.
Dalam konteks kindonesiaan, UU Guru dan Dosen yang telah disahkan
oleh DPR Pada Desember 2005, sesungguhnya telah menyampaikan sebuah kenyataan
bahwa seorang guru dan dosen harus memiliki kecerdasan sosail agar proses
pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan hal yang penting ini. Apalagi bila
kita menegok ke belakang, lebih tepatnya pada masa-masa krisis multidimensi yang
telah melanda Indonesia pada 1997. Pada masa tersebut, betapa kita semuanya
menyaksikan sebagian masyaraklay Indonesia telah kehilangan kearifan-kearifan
social yang agung. Misalnya, sikap untuk bias bertoleransi kepada orang lain
telah tergerus sedemikian rupa; kemampuan berrempati entah tinggal seberapa
tipisnya; kemampuan bekerja sama dan semnatgat untuk bias menolong serta
barbagi kepada sesame telah dikalahkan oleh sifat egois atau bahkan emosi yang
tak terkendali.
Dewasa ini publik juga mulai menyadari bahwa kecerdasan seosial itu
sangat penting agara seseorang bias sukses dalam meniti karier, baik itu usaha
seseorang bias sukse dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun
bekerja di sebuah lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah
kenyataan bahwa banyak orang yang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati
ia memiliki kecerdasan social yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama
mempunyai rasa empati, atau piawai dalam menjalin komunikasi.
Demikian pula dengan hasil penelitian jangka panjang terhadap 95
Mahasiswa Harvard lulusan tahun 1940-an. Puluhan tahun kemudian, dalam
penelitian tersebut dinyatakan mereka yang saat kuliahnya dahulu mempunyai
kecerdasan intelektual tinggi, tetapi memiliki sifat egois, angkuh, atau tampak
kurang dalam pergaulan, ternyata hidup mereka tidak terlalu sukses (berdasarkan
gaji, produktifitas, dan status bidang kerja) bila dibandingkan dengan mereka
yang kecerdasan intelektualnya biasa saja, tetapi supel dalam pergaulan,
mempunyai banyak teman, bias berempati, pandai bekomunikasi, dan tidak
temperamental.
Mengembangkan kesadaran
tersebut bias kita mulai dari bagaiman cara kita membimbing dan mendidik
anak-anak kita. Kita sadar dan mengetahui bahwa anak-anak yang dinugerahkan
oleh Tuhan kepada kita sudah dibekalai dengan potensi-potensi yang sangat
penting untuk dikembangkan demi kesuksesan kehidupan pada masa mendatang.
Potensi yang diberikan Tuhan itu tidak bias kita biarkan begitu saja agar sang
anak berkembang dengan sendirinya. Atau, kita biarkan saja potensi yang dahsyat
itu sehingga tidak berkembang dan akhirnya malah berakibat menjadi tidak
berguna bagi kehidupan anak kita.
Disinilah sesungguhnya dirasa perlu adanya pengasuhan dan
pendidikan bagi anak-anak kita. Disinilah dibutuhkan perhatian yang
sungguh-sungguh bagi orangtua untuk bias memberikan asuhan dan pendidikan yang
terbaik bagi anak anaknya. Asuhan dan pendidikan yang baik sudah tentu tidak
hanya disekolah, tetapi juga dalam lingkunga keluarga. Disini juga perlua ada
keseimbangan antara pendidikan di seklah dan keluarga.
Seiring dengan
perkembangan zaman yang kian pesat di bidang teknologi dan informasi,
perkembangan kejiwaan anak pun mengalami perubahan yang sangat perlu
diperhatikan. Saat ini, bukan pandangan yang asing bila seorang anak tampak
sangat asik dengan “dunianya” sendiri ketika sudah di depan komputer untuk
ng-game atau berselancar di dunia maya yang bernama internet. Sementara bila
ada tamu datang kerumah, dia cuek, tidak bisa menunjukan sikap bagaimana
hubungan sosial mesti di bangun dengan orang lain, atau malah menunjukan sikap
sebaliknya, yakni rasa tidak suka karena merasa keasikannya telah terganggu
dengan adanya orang lain.
Keadaan seperti
ini, disamping karena perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, juga
peran orang tua mempunyai kecenderungan untuk tidak dapat meluangkan waktu
lebih banyak lagi bersama anak-anaknya. Hal ini bisa terjadi karena kesibukan
kerja sehingga kalau dirumah inginnya hanya istrahat karena kecapekan.
Disamping itu juga kurangnya kesadaran bahwa menemani anaknya dalam tumbuh
dan kembangnya itu sangat besar pengaruhnya bagi anak. Orang tua mempunyai
kecenderungan seperti ini biasanya justru memberikan kesibukan pada anak
misalnya dengan belajar tambahan yang dipanggilkan guru privat ke rumah atau
bahkan membelikan banyak mainan agar tidak merepotkan orang tua.
Di samping hal
tersebut, perkembangan dunia pendidikan yang lebih fokus dan mengistimewakan
kecerdasan intelektual juga memberikan andil dalam persoalan ini. Saat ini
bukan hal yang aneh lagi bila kita mendapati anak-anak usia sekolah mempunyai
aktivitas yang luar biasa dalam kegiatan belajarnya sehingga tak akan mempunyai
waktu lagi untuk bermain bersama teman-temannya. Seorang anak yang disibukan
dengan seabreg aktivitas belajar dengan menambah les pelajaran ini dan itu,
memang bisa menggenjot kecerdasan intelektual anak-anak. Orang tua kebanyakan
bangga akan hal ini karena anak-anaknya biasanya mengalami peningkatan nilai
disekolahnya, ternyata ada kecerdasan lain yang dikorbankan, yakni kecerdasan
sosial.
Maka tidak
sedkit dilingkungan sekitar kita, anak-anak yang mempunyai prestasi kecerdasan
intelektual yang baik, ternyata ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan bila
diminta berkiprah di organisasi social, baik itu semacam karang taruna, remaja
mesjid atau kelompok solidaritas lainnya. Inilah anak-anak yang cerdas secara
intelektual, tetapi gagap dalam
kehidupan sosialnya. Padahal, kelak ketika telah menyelesaikan masa belajarnya,
baik itu sekolah maupun di kampus, mau tidak mau, sudah tentu ia akan hidup dan
berinteraksi dengan orang lain; baik itu di lingkungan tempat tinggalnya bekerja
maupun di tengah-tengah masyarakat. Kecerdasan intelektual sangat penting untuk
terus di kembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah
kecerdasan sosial. Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh
diabaikan.
Hasil penelitian Daniel Goleman bahwa kecerdasan intelektual hanya
memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang. Sementara 80%
sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan
spiritual. Bahkan dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual
hanya memberikan kontribusi sebanyak 4% saja.
Mengapa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan
mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah
lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri
tapi juga bagi orang lain. Sungguh kemampuan yang seperti itulah yang sangat
dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan
kehidupan pada zaman yang semakin ketat dalam persaingan. Dengan demikian anak
kita akan lebih nudah dalam meraih kesuksesan.
D.
KECERDASAN YANG PENTING UNTUK DIKEMBANGKAN
Menurut Thorndike manusia mempunyai tiga macam kecerdasan yaitu: (1)
Kecerdasan abstrak yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami
simbol matematis dan bahasa (2) Kecerdasan konkrit yaitu kemempuan seseorang
dalam memahami objek yang nyata (3) Kecerdasan sosial yaitu kemampuan seseorang
dalam memahami dan mengelola sebuah hubungan sosial. Kecerdasan sosial ini menjadi
akar istilah kecerdasan emosional.
Charles Handy membagi kecerdasan
manusia menjadi tujuh macam (1) Kecerdasan logika kecerdasan ini sangat terkait
dengan kemampuan manusia dalam menalar dan menghitung (2) Kecerdasan verbal
kemampuan manusia dalam menjalin hubungan dengan orang lain kemampuan
menyampaikan sesuatu atau berkomunikasi (3) Kecerdasan praktik kemampuan
manusia dalam mempraktikan ide yang ada dalam pikirannya (4) Kecerdasan
dalam bidang musik kemampuan untuk bisa merasakan nada dan irama yang
bila dikembangkan akan bisa menciptakan irama musik yang baik (5) Kecerdasan
intrapersonal kemampuan seseorang untuk bisa memahami segala hal yang berkaitan
dengan dirinya sendiri (6) Kecerdasan interpersonal kecerdasan yang berkaitan
dengan kemampuan seseorang dalam memahami dan menjalin hubungan dengan
orang lain (7) Kecerdasan spasial kecerdasan manusia dalam menggali ruang atau
dimensi, garis maupun warna.
Howard Gardner kecerdasan manusia
terbagi menjadi delapan jenis diantaranya hanya tiga yang akan dibahas (1)
Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual kemampuan potensial
seseorang untuk mempelajari sesuatu dengan menggunakan alat-alat berfikir
kecerdasan ini bisa diukur dari sisi kekuatan verbal dan logika seseorang.
Kecerdasan ini pada umumnya dapat dikembangkan dan di pacu oleh para orang tua
termasuk juga pendidikan formal di sekolah. (2) Emotional Quotient (EQ) atau
kecerdasan emosional kecerdasan ini setidaknya mempunyai lima komponen pokok
yakni kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati dan mengatur sebuah
hubungan sosial. Kecerdasan emosional ini ditemukan oleh Daniel Goldman
dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi
keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh
sederetan factor yang disebutnya sebagai kecerdasan emosional. (3) Spiritual
Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa
sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat makna yang ada dibalik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu.
Kecerdasan spiritual terkait erat dengan kemampuan yang berujung pencerahan
jiwa.
E. MELATIH
KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK
Lawrence E.
Shapiro, dalam bukunya yang berjudul How to Raise a Child with a High EQ,
menyampaikan bahwa setidaknya ada lima keterampilan social yang bisa dilatih
pada anak agar mempunyai kecerdasan sosial yang baik.
1. Keterampilan
Berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi bukan sekedar kemampuan berbicara, melainkan
mampu menyampaikan dengan baik kepada oranmg lain sekaligus juga mampu memahami
dan memberikan respons atau komunikasi yang di jalin orang lain. Keterampilan
berkomunikasi ini bisa kita jalin dengan cara kita minta anak untuk
mengungkapkan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya dengan jelas, kita
sebagai orang tua perlu mendengarkan dengan seksama sambil sesekali merespons
dengan pertanyaan baru, kenapa, apa alasannya, dan seterusnya. Kita juga bisa
meminta anak untuk menyampaikan atau menggambarkan kejadian-kejadian yang di
lihat misalnya, seusai melihat kecelakaan kita bisa bertanya kepada anak
tentang bagaimana perasaannya melihat kecelakaan tersebut. Disamping melatih
komunikasi, latihan ini juga dapat mengembangkan empati pada anak.
2. Keterampilan Membuat Humor
Jalinan hubungan sosial akan terasa hampa bila sama sekali tanpa diselingi
dengan humor. Dengan adanya humor seseorang bisa tertawa, atau humor tidak
harus membuat tertawa tapi cukup membuat tersenyum sehingga melekat hubungan
dan rasa ringan di hati. Ada pernyataan bahwa orang yang cerdas adalah orang
yang mempunyai selera humor; dan termasuk mempunyai kecerdasan tingkat tinggi
apabila seseorang mampu menetawakan dirinya sendiri. Melatih keterampilan humor
bahkan bisa kita mulai sejak anak masih bayi. Misalnya, kita menutup muka kita
dengan telapak tangan kemudian kita buka sambil bilang “Cilukba” meskipun
permainan ini tampak sederhana, sudah merupakan hal yang lucu pada anak. Contoh
lain ketika anak sudah mulai berjalan dan sudah mengenal
beberapa benda dan fungsinya, kita
meletakan kaus kaki di kepala, ini juga merupakan humor tersendiri. Bila
anak-anak sudah mulai mengenal beberapa hal yang membuatnya merasa lucu, maka
ia akan belajar membuat humor sendiri. Semua itu karena untuk membuat humor dan
merasa senang dengan adanya humor adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Dengan
demikian jalinan sosial yang dibangunnya kelak tidak hambar, tetapi
berkelanjutan dengan baik.
3. Keterampilan Menjalin
Persahabatan
Ketika anak
telah memasuki usia 7 atau 8 tahun, biasanya mulai menjauh dari pengaruh orang
tuannya. Keinginan mulai menjauh adalah hal yang wajar karena anak mulai
mendapatkan banyak teman baru disekolah atau di lingkungan sosialnya. Pada saat seperti ini seorang anak biasanya ingin mendapatkan perhatian,
persetujuan, dan dukungan dari temannya. Menghadapi perkembangan tersebut,
orang tua juga tidak boleh tinggal diam disini lah saatnya orang tua melatih
keterampilan dalam menjalin persahabatan. Keterampilan dasar yang perlu kita
latihkan adalah keterampilan dalam memahami kebutuhan orang lain sebagaimana
kita sendiri membutuhkannya. Misalnya, kita senang jika didengar, maka kita
belajar untuk mendengarkan bila orang lain berbicara. Kita akan merasa sakit hati
apabila diledek orang lain, maka kita pun belajar tidak meledek orang lain atau
teman kita. Kita akan senang bila orang lain memberikan perhatian, maka kita
pun belajar untuk bisa memberikan perhatian kepada orang lain. Contoh lain
adalah bisa berbagi dengan orang lain, kita bisa melatih kepada anak saat
mempunyai makanan, kita ajari anak untuk berbagi makanan tersebut kepada
temannya, saat mempunyai mainan kita latih anak untuk meminjamkan mainannya
kepada temannya. Sungguh ini bukan hal kecil dan sangat besar nilainya dalam
hubungan sosial. Satu hal lagi yang perlu digaris bawahi dalam menjalin
persahabatan yakni, persahabatan yang baik bukan sahabat dengan satu orang saja
dan mengabaikan atau tidak mau menjalin persahabatan dengan teman-teman yang lainnya.
Namun, persahabatan yang baik bisa dijalin dengan banyak teman sehingga
pergaulan pun akan semakin luas.
4. Keterampilan Berperan
dalam Kelompok
Ketika anak-anak sudah mulai mengenal dunia pergaulan biasanya senang bila
mempunyai kelompok. Karena anak merasakan bahwa bergabung atau menjadi anggota
kelompok dapat meningkatkan percaya diri dan rasa memiliki akan kelompok
tersebut. Masa-masa ingin berkelompok ini adalah masa yang penting untuk
diperhatikan orang tua. Bila tidak ada perhatian dari orang tua bisa saja anak
akhirnya malah masuk kelompok yang tidak baik. Disinilah pentingnya orang tua
melatih anak-anaknya untuk mempunyai keterampilan berperan dalam kelompok. Hal
penting yang perlu dilatih adalah keberanian untuk menyampaikan pendapat. Dalam
sebuah kelompok walaupun tidak formal biasanya akan dianggap punya peran bila
ada orang yang berani menyampaikan pendapat. Sudah barang tentu, pendapat yang
dimaksud adalah pendapat yang bisa mempengaruhi orang lain untuk berbuat
positif. Bila anak sudah terlatih dalam menyampaikan pendapat, maka kepercayaan
dirinya akan terbangun dengan baik karena kepercayaan diri adalah modal yang
penting agar seseorang bisa berperan dalam kelompok sosial.
5. Keterampilan Bersopan
Santun dalam Pergaulan
Sopan santun dalam pergaulan sangat diperlukan di kehidupan masyarakat.
Bersopan santun adalah melakukan budi pekerti yang baik atau sesuai dengan
tatakrama yang dianut dan berlaku di masyarakat. Orang yang bisa melakukan
sopan santun akan mendapatkan nilai dan tempat yang baik dalam sebuah
pergaulan. Sangat penting buat orang tua untuk bisa mengajarkan keterampilan
bersopan santun dalam pergaulan ini. Orang tua dapat melatih keterampilan sejak
dini misalnya, bila bertemu atau berpapasan dengan orang lain kita ajari anak
untuk menyapa, permisi, tersenyum atau setidaknya menunjukan gestur dan mimik
bahwa kita “menyapa”. Apabila berbicara dengan orang lain perlu
menggunakan nada suara sewajarnya saja, maksudnya tidak perlu terlalu keras
sehinga terkesan seperti membentak. Termasuk baian dari sopan santun dalam
pergaulan adalah tidal mendominasi pembicaraan seakan orang lain tidak diberi
kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Ada satu hal yang penting dalam
keterampilan bersopan santun ini, yakni hendaknya sopan santun yang dilakukan
bukan karena basa-basi tetapi dilakukan berangkat dari ketulusan hati, sopan
santun yang berangkat dari ketulusan hati tidak akan dapat dilakukan oleh orang
yang dalam hatinya ada perasaan sombong. Maka, kesombongan itu harus
dihilangkan bila seseorang ingin mempunyai kecerdasan social yang baik.
F.
IBU SEBAGAI SEKOLAH PERTAMA BAGI ANAK
Mengembangkan kecerdasan anak adalah tanggungjawab kedua orangtuanya. Bagi
orang tua yang menerapkan pendidikan bagi anak-anaknya dalam homeschooling,
maka tanggung jawab ini dapat diterapkan secara sepenuhnya. Namun, bagi orang
tua yang tidak bisa memberikan pendidikan anak-anaknya secara penuh, maka
pelaksanaannya didelegasikan kepada sekolah formal atau reuler.
Ketika anak-anak berada di sekolah formal atau reguler, maka pelaksanaan
tanggung jawab pendidikan anak-anak kita berada di tangan guru dan pengelola
sekolah. Akan tetapi, bila anak-anak berada di rumah, maka kedua orangtua
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan anak-anaknya. Peran orang tua
disini adalah kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya. Namun, bila ditinjau
bahwa seorang ibu mempunyai kedekatan yang luar biasa dengan anak-anaknya, maka
peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya sangat penting sekali. Itulah
kenapa kita sering mendengar istilah ibu sebagai sekolah pertama bagi
anak-anaknya.
Kedekatan seorang ibu dengan anaknya dimulai semenjak ibu mengandung
anaknya. Selama dalam kandungan, seorang anak mempunyai hubungan fisiologis
maupun psikologis yang tidak dapat dipisahkan dengan ibunya. Banyak penelitian
menyimpulkan bahwa keadaan psikis mental seorang ibu sangat berhubungan dengan
anaknya. Ketika seorang ibu merasa bahagia, rileks, dapat menjalin hubungan
komunikasi yang nyaman dengan suaminya (ayah sang bayi), makan terlihat pula
sikap dan kondisi psikis anak menjadi serupa dengan ibunya yakni anak tampak
ceria, nyaman dan mampu mengeksplorasi dengan baik hal-hal yang ada di sekelilingnya.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ketika seorang ibu setres, cemas, takut,
tidak mampu berfikir jernih, mengalami emosi yang tidak stabil, maka anakpun
akan memperlihatkan sikap yang tidak menyenangkan, seperti rewel, melawan,
tampak mengalami ketakutan yang berlebihan dan sikap-sikap yang lain yang jika
dibiarkan akan berakibat buruk bagi tumbuh dan berkembangnya anak
kita.Disinilah sesungguhnya peran ibu sangat penting bagi pendidikan
anak-anaknya. Bila sudah demikian bukan berarti peran seorang ayah tidak
penting. Namun harus diakui juga bahwa kedekatan seorang kepada anaknya
biasanya berkirang karena terjadi dua faktor eksklusif (tidak mengandung dan
menyusui anaknya), juga karena secara waktu pun biasanya seorang ayah ternyata
masih kalah dengan ibunya yang lebih banyak dekat dengan anak-anaknya.
Menyadari betapa besar peran seorang ibu sebagai pendidik utama dan
pertama, maka seorang ibu yang ingin anak-anaknya dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik termasuk dalam hal ini adalah mengembangkan
berbagai kecerdasan yang sudah dimiliki sang anak, meskinya mempersiapkan diri
dengan banyak bekal pengetahuan yang berkaitan dengan mendidik anak-anaknya
semenjak usia dini. Hal ini juga harus didukung oleh suaminya
sebagai mitra sejajar dalam berumah tangga. [20]
Bekal pengetahuan agar anak-anaknya dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik yang dimiliki seorang ibu dapat diterapkan
dalam hangatnya pengasuhan dan kelembutan bersikap. Disebabkan mengembangkan
kecerdasan anak, terutama kecerdasan emosional, social dan spiritual sangat
dipengaruhi oleh teladan dan sentuhan personal yang penuh rasa cinta, atensi,
dan apresiasi. Oleh sebab itu, dalam konteks inilah aktivitas pengasuh menjadi
sangat penting. Sementara pengasuh terbaik bagi seorang anak adalah ibunya.
Disebabkan ibulah sosok yang paling dikenal oleh anak. Bila hal ini dapat
dilakukan dengan baik, sungguh akan sangat berkesan bagi anak-anaknya sehingga
bisa mengubah anak-anaknya untuk terus berkembang menjadi lebih baik.[21]
Melalui pendampingan yang terus menerus dan
beberapa latihan yang ada di artikel sederhana ini, semoga kita dapat
mengembangkan kecerdasan sosial anak-anak kita. Sebuah kecerdasan yang membuat
anak-anak kita bisa menjalin banyak hubungan secara baik dalam kondisi
bagaimana pun dalam berinteraksi social; baik itu disekolah, dengan teman-teman
bermainnya, atau kelak ketika besar, maka kecerdasan sosialnya akan berguna di
tempat kerja, ketika berhubungan dengan relasi bisnis maupun dalam pergaulan
lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Tidak ada manusia yang bisa hidup
dendiri. Antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dalam
sebuah hubungan sosial.[22]
G.
Manfaat
kecerdasan Sosial Bagi Anak
Banyak sekali
manfaat yang dapat diambil dari upaya mengembangkan keecrdasan social. Setelah
di dalam buku sederhana ini kita mengetahui betapa penting dan bagaimana
mengebangkan kecerdasan social dalam kehidupan. Selanjutnya kita menelusuri
beberapa contoh manfaat mengebangkan kecerdasan sosail bagi kehidupan, sebagai
berikut:
1.
Menyehatkan
jiwa dan raga
Pola hubungan sosial seseorang dipercaya
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesehatannya. Hal ini bias kita
ketahui dari banyak kenyataan bahwa orang-orang yang mempunyai jalinan hubungan
yang baik dengan orang lain biasanya mampu menjalani hari-hari dengan baik,
menyenangkan, ketika mempunyai masalah aka nada orang lain yang di ajak
berdiskusi dan mencari jalan keluar, banyak menemukan hal baru dari sebuah
hubungan, dan sebagainya. semua itu akan berakibat baik bagi kejiwaan seseorang
sanga terkait dengan kesehatan basdannya.
Seseorang yang egois, temperamental, pemarah,
dan mudah menyalahkan orang lain adalah contoh seseorang yang tidak mempunyai
hubungan lain. Dengan demikian, ketika ia mendapatkan masalah, biasanya
dipendam sendiri, dan hal ini juga diperparah akan meunmpuk dalam dirinya.
Misalnya, migraine, tekanan darah tinggi, dan beragam penyakit psikomatis
lainnya.
Mengebangkan kecerdasan sosial pada anak kita
ternyata akan bermanfaat bagi kesehatan jiwanya
dan berakibat pula bagi kesehatan raganya.. sungguh hal ini
pentingsekali untuk diperhatikan . disamping karena kesehata n itu mahal
harganya, bukankah mencegah datangnya penyakit itu lebih baaik daripada
mengobati.
2.
Membuat Suasana
Nyaman
Orang yang mempunyai kecerdasan sosial yang
baik akan bisa membuat suasana menjadi nyaman. Suasana yang nyaman akan
menjadikan hubungan seseorang dengan yang lain terjalin dengan baik.
Ada sebuah contoh yang menarik berkaitan dengan
kemampuan membuat Susana menjadi nyaman ini. Disebuah resepsi pernikahan,
orangtua dari sepasang pengantin mendampingi pengantin yang sedang duduk di
pelaminan. Ketika para tamu berdatangan, orangtua dan pengantin berdiri untuk
menyelami para tamu yang mendatangi pelaminan.
H.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
1.
Pengertian Pendidikan
Menurut etimologi kata
pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang menurut Poerwadaminta didik ini
sama dengan mendidik, yang artinya “memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir”.[23]
Kemudian kata didik itu
diberi imbuhan dengan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pendidikan” dan
berubah jadi kata kerja, maka dengan demikian pendidikan berarti perbuatan
mendidik.
Dari bentukan diatas,
jelaslah bahwa pendidikan merupakan latihan, ajaran, bimbingan dan pimpinan
atau memberikan pengajaran. Dan itu
tentu di dalam pendidikan terdapat unsur didik dan yang mendidik, dengan kata
lain anak didik yang diberi didikan dan ada pendidik yang memberikan
pendidikan.
Sedangkan pendidikan
menurut terminologi ialah Oemar Hamalik mengemukakan: “Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi
siswa agar dapat menyesuaikan diri
sebaik mungkin terhadap lingkungannya.”[24]
Adapaun dalam GBHN
dinyatakan bahwa “Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat manusia.”[25]
Menurut Ahmad D. Marimba
mengemukakan “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama”.[26]
Dari beberapa pengertian
pendidikan diatas dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan adalah suatu
perbuatan (usaha) dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan dan keterampilan kepada generasi
muda dan juga mengalihkan kebudayaan untuk menyiapkan mereka memenuhi hidupnya,
baik jasmani maupun rohani. Atau juga dengan kata lain pendidikan adalah suatu proses budaya yang terjadi di
samping kehidupan guna mewujudkan aneka perubahan dalam rangka membentuk dan
mengembangkan segenap potensi yang bersifat pembawaan, intelektual dan
emosional untuk kepentingan hidup dan kehidupan bagi manusia itu sendiri dan
selanjutnya membawa dampak positif bagi masyarakat.
2.
Pengertian Agama
Agama dalam bahasa Arab adalah “Ad-din”, yang tercantum
dlaam al-Quran (Q.S. Al-Maidah: 3)
mengandung pengertian peraturan manusia dengan tuhan (vertikal) dan
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat, termasuk dirinya sendiri dan
alam lingkungan hidupnya (horizontal).[27]
Agama berasal dari bahasa
sansekerta yang akat katanya “gam”,
kedudukannya serumpun dengan kata “gaan” (dalam bahasa Belanda)
atau “go” (dalam bahasa Inggris).
Gam, gaan, go itu masing-masing
adalah kata kerja, yang menunjukkan
kepada pengertian pergi atau berjalan.
apabila kata gam itu diberi awalan “a” dan akhiran “a” ia akan menjadi
agama, kini ia berubah bentuk menjadi kata benda yang berarti “jalan menuju”.[28]
Dari uaraian diatas
dapatlah diambil kesimpulan agama itu
artinya tidak kucar kacir. Agama adalah
petunjuk jalan keelamatan yang bersisi perintah yang harus dikerjakan dan
larangan yang harus ditinggalkan atau dijauhi, disimpulkan dengan peran
Rasul-Nya dan menyuruh manusia untuk berbuat baik kepada manusia dan beribadah
kepada Tuhannya.
3.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Abd. Rahman Shaleh
mengemukakan: Pendidikan Agama Islam
adalah usaha bimbingan dan asuhan
terhadap mahasiswa agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan
mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (jalan
kehidupan).[29]
Ahmad Marimba memberikan
batasan: Pendidikan Agama islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum agama menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut Islam (Kepribadian muslim).[30]
Zakiah Daradjat dan
kawan-kawan mengemukakan: Pendidikan
agama Islam adalah pembentukan kepribadian yang lebih banyak ditujukan
kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai
dengan petunjuk ajaran Islam.[31]
Dengan demikian jelaslah
bahwa pendidikan agama Islam ialah suatu
usaha berupa bimbingan arahan, atau tuntunan terhadap pekermbangan anak, baik
jasmani maupun rohani agar tercipta suatu kepribadian utama menurut ajaran
Islam.
Dan yang dimaksud disini adalah Pendidikan Agama Islam
(PAI) yang merupakan salah satu mata
pejaran yang wajib diajarkan pada sekolah umum,
penanaman ini sangat umum karena di dalamnya mengandung sejumlah materi
yang menyangkut kepada berbagai bidang keislaman,
baik tauhid, fiqih, dan akhlak.
[10]
Anderson, (dalam Safaria, 2005),
H, 45
[14] N. Yunistisia,
75 Rahasia Anak Cerdas, ( Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h, 18
[15] M. Thobrani
& Fairuzul Mumtaz, Mendongkrang Kecerdasan Anak Melalui Bermain dan
permainan, ( Jakarta: Kata hati, 2016), 12
[16] Akhmad
Muhaimin Azzet, Mengebangkan kecerdasan Spritual Bagi Anak, ((Jakarta:
kata Hati, 2016), h, 9
[19] Akmad Muhaimin
Azzet, Mengembangkan Kecerdasan
Sosial bagi Anak, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) h, 16
[21]
Media bil Hikmah, Blog. “Intelektual,
Kecerdasan Emosi, dan Kecerdasan Spiritual.” Dalam
http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/51. Diakses pada Maret
2010.
[22] Ervin,
“Adalah Ibu, Sekolah Pertama Bagi Anak” Dalam http//keluarganuryadi.multiply.
com/journal/item/6. Diakses pada Maret 2010.
[23] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.656.
[25] Ketetapan-Ketetapan MPR RI 1988 (Jakarta:
1998), h. 69.
[26] Ahmad D. Marimba. op. cit., h.19
[27] H.Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), g.37.
[28] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Bandung Balai Pustaka, 1990), h.10
[29] Abd. Rahman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama (Jakarta: Bulan
Bintang, 1969), h.19
[30] Ahmad D. Marimba, op. cit., h.23.
[31] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 28.